Ini Penyebab Banjir Bandang Humbahas Menurut Aktivis Lingkungan

Laporan khusus bencana dan krisis ekologis
28/11/2025
Keterangan gambar: Banjir yang melanda Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatra Utara, Selasa (25:11). Sumber foto: BPBD Kabupaten Tapanuli Tengah

Jakarta, — Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, dilanda banjir bandang dan tanah longsor setelah hujan lebat mengguyur wilayah itu pada Selasa malam, 25 November 2025. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan lima orang meninggal, empat hilang, dan tujuh warga luka-luka. Seluruh korban luka telah dirawat di RSUD Doloksanggul.

Kerusakan terjadi di tujuh desa, mulai dari Kecamatan Pakkat, Doloksanggul, Onan Ganjang, hingga Parlilitan. Sedikitnya enam rumah rusak berat, satu fasilitas ibadah rusak, dan 11 titik akses jalan terputus. Material kayu gelondongan dan lumpur dalam jumlah besar menghantam permukiman dan lahan pertanian.

BNPB menyebut bencana dipicu cuaca ekstrem akibat dampak siklon tropis Senyar. Namun, narasi penyebab banjir di Tapanuli Raya kembali mendapat sorotan dari aktivis lingkungan.

Keterangan gambar: Banjir yang melanda Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatra Utara, Selasa (25:11). Sumber foto: BPBD Kabupaten Tapanuli Tengah

Aktivis: Banjir ini bukan sekadar hujan. Ini akibat rusaknya hutan

Di media sosial, kritik keras datang dari warga Sumatera Utara, Maruli Simanjuntak. Ia menilai bencana di Humbahas tidak bisa disamakaan dengan banjir di kota besar seperti Medan.

“Medan memang langganan banjir sejak dulu. Tapi banjir di Tapanuli Raya baru muncul beberapa tahun ini—dan selalu membawa gelondongan kayu dari hulu yang dihancurkan,” tulisnya.

“Jangan samakan dua hal berbeda untuk membela perusahaan. Ini manipulasi.”

Ia merujuk pada luas konsesi perusahaan kehutanan PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang mencapai 167 ribu hektare, sebagian berada tepat di kawasan hulu sungai yang melintasi desa-desa di Tapanuli.

Menurut Maruli, kerusakan hutan di wilayah hulu memperparah intensitas banjir bandang karena hilangnya fungsi serapan air dan penahan tanah. “Banjir bukan hanya hujan. Ini akibat,” tegasnya.

Keterangan gambar: Peta Konsesi Pembukaan Lahan. Foto: Ist

WALHI: Bencana di Indonesia adalah konsekuensi kebijakan, bukan kutukan alam

Penjelasan para aktivis lingkungan selaras dengan temuan terbaru Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam laporan setebal 284 halaman berjudul “Bencana Ekologis: Mereduksi Risiko, Memulihkan Indonesia, Oktober 2025.

Laporan itu menegaskan bahwa bencana tidak berdiri sendiri sebagai “musibah alam”, melainkan konsekuensi dari ekspansi industri kehutanan, pertambangan terbuka, pembangunan food estate, reklamasi pesisir, dan lemahnya tata kelola ruang hidup.

Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional WALHI (2021–2025), menulis selama dua dekade bekerja di isu lingkungan, saya melihat banjir, longsor, kebakaran hutan, dan rob bukan lagi fenomena alamiah. Ini hasil keputusan politik yang mengabaikan keseimbangan ekologi.

Chalid Muhammad, Pendiri Institut Hijau Indonesia, menambahkan Air bah dalam banyak kasus di Indonesia tidak turun dari langit, tetapi mengalir dari bukit yang digunduli. Longsor terjadi bukan hanya karena hujan, tetapi karena gunung ditambang. Itulah yang kami sebut bencana ekologis.

Keduanya menekankan perlunya koreksi arah kebijakan, keberanian pemerintah menghentikan dominasi oligarki, dan peran besar generasi muda untuk memperjuangkan masa depan yang layak huni.

Keterangan gambar: Peta Aktivitas Pembukaan Lahan TPL. Foto: Warga net asal Medan, Maruli Simanjuntak

 

BNPB: Pencarian korban masih berlanjut, medan berat

Dari sisi penanganan darurat, BNPB menyampaikan bahwa tim gabungan BPBD, TNI–Polri, dan relawan masih menyisir lokasi terdampak.

“Pencarian korban hilang tetap dilakukan, namun keselamatan petugas menjadi prioritas mengingat medan yang berat dan potensi longsor susulan,” ujar Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, Abdul Muhari.

Tim juga membuka akses jalan yang tertutup material dengan excavator dan backhoe loader, mendirikan dapur umum, serta menyiapkan hunian sementara bagi warga yang mengungsi.

BNPB mengimbau masyarakat tetap waspada karena potensi hujan dengan intensitas tinggi masih berlanjut di kawasan Tapanuli Raya.

Laporan BNPB menunjukkan curah hujan ekstrem menjadi pemicu langsung. Namun, suara aktivis dan analisis WALHI mempertebal kenyataan: kerusakan hutan di wilayah hulu memperbesar daya rusak banjir bandang di Humbang Hasundutan.

Bencana ini menjadi cermin betapa krisis ekologis di Indonesia tidak bisa lagi diabaikan.

error: Content is protected !!