Belém & Jakarta — Rencana penggandaan produksi biofuel empat kali lipat dalam satu dekade, yang dikenal sebagai Belém 4x Pledge, mendapat penolakan keras dari Greenpeace dan lebih dari 1.900 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Climate Action Network (CAN). Alih-alih menjadi solusi iklim, kebijakan itu dinilai sebagai jalan pintas berbahaya yang mengorbankan hutan alam dan Masyarakat Adat demi ilusi energi hijau.
“Tanpa Belém 4x pun, pemerintah Indonesia sudah siap mengorbankan hutan dan Masyarakat Adat demi proyek biodiesel dan bioetanol yang jelas-jelas solusi palsu,” tegas Syahrul Fitra, Kepala Kampanye Solusi untuk Hutan Global Greenpeace.
Hutan Papua Jadi Tumbal Bioetanol
Salah satu wajah nyata dari “transisi energi palsu” itu adalah proyek bioetanol di Merauke, Papua Selatan, yang menjadi bagian dari daftar Proyek Strategis Nasional. Perkebunan tebu untuk bioetanol di sana telah menggerus 4.912 hektare hutan adat Suku Yei hingga Agustus 2025.
Tak berhenti di situ, pemerintah merencanakan pembukaan 633.000 hektare perkebunan tebu di Papua Selatan, sementara 382.759 hektare hutan di Mappi dan Boven Digoel dialihfungsikan menjadi kebun sawit untuk suplai biodiesel.
Refki Saputra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengingatkan bahwa seluruh lanskap yang hendak dikonversi itu dapat melepaskan 162 juta ton CO₂ ke atmosfer.
“Pembukaan lahan besar-besaran demi ambisi energi hijau jelas kontradiktif dengan target iklim pemerintah.”

Kalimantan: Kawasan Ekonomi, Kawasan Dilego
Di Pulau Kalimantan, rencana Kapet (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu) juga membuka jalan bagi konversi 560 ribu hektare hutan dan lahan gambut. Greenpeace menghitung potensi pelepasan 221 juta ton CO₂—setara 48 juta mobil mengeluarkan emisi dalam setahun.
“Bagaimana mungkin pemerintah berbicara solusi iklim, sementara hutan terus ditebang demi industri energi?” kata Refki.
Ikrar Belém 4x Dinilai Manipulatif
Hikmat Soeratanuwijaya, Senior Officer Oil Change International Asia, menilai Belém 4x menggunakan bahasa keberlanjutan untuk menutupi kenyataan bahwa biofuel merupakan ekstensi dari industri fosil.
“Transisi energi berkeadilan tidak bisa berdiri di atas penghancuran hutan dan hak Masyarakat Adat.”
Menurutnya, biofuel bukan solusi, melainkan bentuk baru kolonialisme hijau: wilayah adat dibebani proyek energi, sementara manfaatnya dinikmati elite ekonomi dan negara-negara industri.
Direktur Forest Watch Indonesia (FWI), Mufti Fathul Barri, memperingatkan bahwa ekspansi perkebunan untuk biofuel akan mempercepat tenggelamnya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang daya dukungnya sangat terbatas.
“Menenggelamkan pesisir sama saja menghilangkan manusia yang hidup di dalamnya.”
Janji Iklim Indonesia Terjebak Ilusi
Dalam COP30, pemerintah menargetkan penurunan emisi 1,25–1,48 GT CO₂e pada 2035. Presiden Prabowo pun menggembar-gemborkan peralihan dari fosil ke energi terbarukan.
Namun Greenpeace menilai narasi itu tak lebih dari janji tanpa fondasi, jika pemerintah tetap membuka jutaan hektare hutan demi proyek biofuel.
“Transisi energi Indonesia akan dilihat dunia bukan sebagai solusi, tetapi sebagai ilusi,” kata Syahrul.
Desakan koreksi kebijakan
Koalisi masyarakat sipil JustCOP menuntut pemerintah:
- menghentikan ekspansi biofuel yang merampas hutan
- melindungi seluruh hutan alam tersisa dengan regulasi ketat
- mengakui dan melindungi wilayah adat
- menempatkan Masyarakat Adat sebagai aktor utama transisi energi
“Agar gagasan hijau tidak berubah menjadi musang berbulu domba, pemerintah harus memastikan seluruh hutan alam dilindungi total,” ujar Timer Manurung, Direktur Auriga Nusantara.
