Belém, Brasil, — Suara perlawanan masyarakat adat dari Nusantara menggema di tengah hutan Amazon. Dari atas kapal legendaris Rainbow Warrior milik Greenpeace, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menyampaikan tuntutan tegas kepada pemerintah Indonesia dan negara-negara dunia pada Rabu, 12 November 2025, bertepatan dengan perhelatan Konferensi Para Pihak ke-30 (COP30 UNFCCC) di Belém, Brasil.
Aksi ini menjadi simbol perlawanan bersama antara Masyarakat Adat Nusantara, masyarakat adat Amazon, dan gerakan lingkungan global terhadap praktik kriminalisasi dan solusi palsu iklim yang terus mengancam ruang hidup mereka.

“Hentikan Kriminalisasi Masyarakat Adat”
Dalam pidatonya, Rukka Sombolinggi mengultimatum pemerintah Indonesia agar:
Menghentikan kriminalisasi Masyarakat Adat,
Menghentikan perampasan wilayah adat atas nama pembangunan dan Proyek Strategis Nasional (PSN),
Segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang telah mandek lebih dari 15 tahun sejak pertama kali dibahas pada 2009.
“Masyarakat Adat bukan penghambat pembangunan. Kami penjaga pengetahuan tradisional yang menjaga ekosistem tetap hidup,” tegasnya dari atas dek Rainbow Warrior yang bergerak perlahan menyusuri perairan Sungai Amazon.
Rukka memperingatkan bahwa kriminalisasi tidak hanya menghancurkan ruang hidup komunitas adat, tetapi juga menghilangkan pusat pengetahuan ekologis yang menjadi penyangga sistem kehidupan.
687 Konflik dan 925 Orang Dikriminalisasi
Catatan AMAN menunjukkan bahwa:
Satu Dekade Terakhir (hingga 2024) 687 kasus konflik agraria terjadi di wilayah adat.
Total area terdampak mencapai 11,07 juta hektare.
925 masyarakat adat dikriminalisasi banyak di antaranya dikaitkan dengan konflik PSN, perkebunan sawit, tambang, dan proyek infrastruktur.
Kriminalisasi semakin meningkat dalam proyek-proyek yang membawa label “pembangunan” dan “pengembangan ekonomi.”
Ancaman Baru dari “Ekonomi Hijau”
Rukka juga menyoroti bahaya dari jargon-jargon yang kini menjadi arus utama diplomasi iklim:
Perdagangan karbon,
Ekonomi hijau,
Energi hijau,
Green jobs.
Menurutnya, konsep-konsep ini sering kali hanya membungkus ulang model ekstraksi lama, memindahkan beban krisis ke masyarakat adat dan komunitas rentan.
“Di balik istilah-istilah itu, ancaman baru justru muncul. Masyarakat Adat kembali menjadi korban, disalahkan, dan distigmatisasi,” ujar Rukka.
Aksi Global: Fortilla Amazon Bersatu
Aksi Rukka di Sungai Amazon merupakan bagian dari armada besar (fortilla) yang terdiri dari:
200 perahu dari 60 negara,
Lebih dari 5.000 perwakilan masyarakat adat dari seluruh dunia,
Armada solidaritas seperti Yaku Mama (Ekuador), The Answer Caravan (Brasil) yang dipimpin tokoh adat terkemuka Rãoni Metuktire, serta Flotilla 4 Change.
Seruan mereka satu:
Hentikan solusi iklim palsu. Tempatkan masyarakat adat sebagai pusat strategi iklim global.
Greenpeace: “Ini Saatnya COP yang Penuh Aksi”
Direktur Eksekutif Greenpeace Brasil, Carolina Pasquali, menyatakan aksi ini bukan sekadar simbol, tetapi sebuah deklarasi global.
“Ini adalah momen ketika masyarakat adat dan masyarakat sipil dunia bersatu. Kami menuntut agar COP30 menjadi COP yang benar-benar penuh aksi — untuk iklim, hutan, dan manusia,” tegasnya.
Aksi di Sungai Amazon ini menjadi salah satu suara paling kuat dari masyarakat adat Indonesia di panggung iklim internasional. Sebuah peringatan bahwa tanpa perlindungan hak masyarakat adat, tidak akan ada solusi iklim yang adil dan efektif. Masyarakat adat bukan sekadar penjaga hutan—mereka adalah garda depan penyelamat bumi.
