Jejaring Kuasa di Balik Tambang Nikel Halmahera Timur

Keluarga Barki dan Jaringan Global Nikel, Militer dan Politikus, Hingga Struktur Pemerintahan Desa
11/11/2025
Keterangan gambar: Jejaring Aktor di Balik Seteru PT Position, PT Wahana Kencana Minerał (WKM), dan PT Wana Kencana Sejati (WKS). Foto: Tangkapan layar dari Laporan Penelitian JATAM bertajuk bertajuk “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera”.

Jakarta, – Halmahera Timur kini bukan sekadar peta industri nikel — ia adalah medan perebutan kuasa. Di tanah yang dulu dikelola masyarakat adat sebagai hutan pangan dan wilayah sakral, korporasi tambang datang berkelindan dengan militer, birokrat, dan jaringan modal transnasional. Apa yang tersisa dari ruang hidup warga hanyalah jejak merah di sungai dan batas-batas administratif yang digeser diam-diam.

Sejak awal 2024, ekspansi tambang di Maba Sangaji memperlihatkan dampak paling kasat mata. Air Sungai Sangaji, yang dulu jernih hingga dasar kerikilnya tampak, kini berwarna coklat kemerahan. Di sungai itu masyarakat menanak sagu, menyeduh kopi, hingga mandi tanpa rasa waswas. Kini, airnya berbau logam, dan kehidupan di tepiannya perlahan hilang.

Sungai Sangaji menjadi simbol: ketika air berubah warna, kehidupan ikut keruh. Ia terhubung dengan lebih dari 600 anak sungai di Teluk Buli dan Pulau Mobon—jalur hidup utama masyarakat adat Maba yang kini terganggu oleh tumpang tindih izin pertambangan dari empat raksasa: PT Position, PT Wana Kencana Mineral (WKM), PT Nusa Karya Arindo (NKA), dan PT Weda Bay Nickel (WBN).

Keterangan gambar: Peta Tumpang Tindih Konsesi Tambang dan Hutan. Foto: Tangkapan layar dari Laporan Penelitian JATAM bertajuk bertajuk “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera”.

 

Poros Kuasa: Keluarga Barki dan Jaringan Global Nikel

Di balik nama-nama itu, berdiri konglomerasi energi nasional dan transnasional yang mengendalikan arah bisnis nikel Indonesia. Demikian disebutkan dalam laporan bertajuk “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera”, JATAM menyebut wilayah Halmahera Timur kini menjadi “zona konflik terbuka” antara korporasi besar, elit militer-politik, dan komunitas adat yang terus kehilangan ruang hidup.

Dalam Laporan ini, JATAM melakukan investigasi mendalam tentang jejak bisnis yang melintasi Jakarta-Bermuda-Beijing, jejaring politik-militer yang mengunci ruang kendali, dan “keajaiban” bagaimana ekosistem, sejarah, serta martabat orang Halmahera dikorbankan demi keuntungan segelintir elit.

PT Position, misalnya, kini berada di bawah kendali PT Tanito Harum Nickel (THN) — anak perusahaan konglomerasi Harum Energy Tbk, milik keluarga Barki. Kelompok usaha ini tidak hanya menguasai tambang nikel di Halmahera Timur, tetapi juga tambang batubara di Kalimantan Timur, perusahaan logistik laut, hingga smelter logam dasar di Weda Bay.

Keterangan gambar: Peta Konsesi PT Position. Foto: Tangkapan layar dari Laporan Penelitian JATAM bertajuk bertajuk “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera”.

Seluruh kebijakan ekspansi dan strategi pertambangan dikendalikan dari satu pusat kekuasaan korporat di Jakarta.

Di lapangan, PT Position mengelola jaringan operasi lewat kemitraan dengan perusahaan-perusahaan afiliasi seperti PT Infei Metal Industry, PT Blue Sparking Energy (BSE), dan PT Harum Nickel Perkasa. BSE bahkan tengah membangun fasilitas High-Pressure Acid Leaching (HPAL) di Kawasan Industri Weda Bay—salah satu proyek terbesar dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik di Asia Tenggara.

Posisi strategis keluarga Barki di industri nikel semakin kuat melalui tokoh-tokohnya:
Lawrence Barki duduk sebagai Presiden Komisaris Harum Energy sekaligus Komisaris PT Position. Sementara Stephanus Eka Dasawarsa Sutantio, Direktur Utama PT Position, tercatat pernah menjadi direktur di perusahaan offshore IMC Plantations Holdings Ltd di Bermuda—terungkap dalam dokumen Paradise Papers. Nama lain seperti Cao Zhiqiang dan He Xiaozhen, representasi investor Tiongkok, mengisi pos penting di jajaran direksi dan komisaris, menandai pengaruh modal asing dalam tubuh korporasi nasional.

Keterangan gambar: Jejaring Aktor di Balik Seteru PT Position, PT Wahana Kencana Minerał (WKM), dan PT Wana Kencana Sejati (WKS). Foto: Tangkapan layar dari Laporan Penelitian JATAM bertajuk bertajuk “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera”.

Militer dan Politikus di Tubuh WKM

Di sisi lain, PT Wana Kencana Mineral (WKM) menunjukkan simbiosis khas antara modal, militer, dan politik. Perusahaan dengan konsesi 24.700 hektare ini melibatkan kombinasi kepemilikan domestik dan asing — PT Baja Selatan Lintas Nusantara (40%), PT Sejahtera Jaya Prima (25%), dan Huacai (Hongkong) Limited (35%).

Struktur puncaknya menampilkan nama besar: Jenderal (Purn) Agum Gumelar sebagai Komisaris Utama, dan Letjen (Purn) Eko Wiratmoko, eks-Kopassus sekaligus mantan Koordinator Polhukam DPP Golkar, sebagai Direktur Utama.

Masuknya figur militer aktif dan purnawirawan dalam tubuh perusahaan menegaskan bagaimana nikel di Halmahera Timur bukan hanya komoditas ekonomi, tapi arena politik keamanan. Seolah tambang bukan lagi urusan sumber daya, melainkan strategi kontrol wilayah.

Tak berhenti di situ, jaringan eksekutif asing seperti Chen Yibo dan Du Shangmeng menjadi penghubung modal Tiongkok lewat entitas Huacai Hongkong Ltd..

Dengan dukungan kapital lintas negara dan koneksi elite, WKM menjadi representasi “hibrida kekuasaan”—perpaduan antara bisnis, politik, dan militer.

Keterangan gambar: Jejaring Aktor di Balik Seteru PT Position, PT Wahana Kencana Minerał (WKM), dan PT Wana Kencana Sejati (WKS). Foto: Tangkapan layar dari Laporan Penelitian JATAM bertajuk bertajuk “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera”.

Jejak Keluarga Lohisto dan Konflik di Hutan Adat

Di seberang peta, PT Wana Kencana Sejati (WKS) menguasai izin pengelolaan hutan produksi seluas 93.235 hektare di Halmahera Timur.

Perusahaan ini dikendalikan oleh keluarga Lohisto, dengan Rusli Lohisto (70%) dan Ade Wirawan Lohisto alias Acong (30%) sebagai pemegang saham utama.

Nama Acong pernah mencuat dalam kasus suap izin tambang Maluku Utara tahun 2023 yang menyeret mantan Gubernur Abdul Gani Kasuba (AGK). Ia diduga memberikan suap Rp2 miliar untuk memuluskan izin operasi tambang afiliasinya, termasuk PT Halmahera Sukses Mineral dan PT Mega Haltim Mineral.

Keterangan gambar: Peta Konsesi Wana Kencana Sejati. Foto: Tangkapan layar dari Laporan Penelitian JATAM bertajuk bertajuk “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera”.

Operasi WKS menimbulkan konflik langsung dengan masyarakat adat O’Hongana Manyawa (Tobelo Dalam). Hutan adat mereka, yang dulu jadi ruang spiritual dan tempat berburu, kini berubah menjadi jalan hauling dan tumpukan tanah merah.

“Ini bukan sekadar tambang, ini penghapusan identitas,” ujar Melky Nahar, Koordinator JATAM Nasional. “Di Halmahera Timur, investasi berjalan bersisian dengan penderitaan.”

Keterangan gambar: Peta Konsesi Wana Kencana Mineral. Foto: Tangkapan layar dari Laporan Penelitian JATAM bertajuk bertajuk “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera”.

Pola intervensi korporasi menjalar hingga struktur pemerintahan desa.

Perubahan batas antara Desa Maba Sangaji dan Desa Wailukum secara tiba-tiba digunakan untuk melegitimasi perluasan konsesi di wilayah adat Moronopo, ruang hidup penting masyarakat adat Teluk Buli.

Dokumen batas desa baru muncul tanpa sosialisasi publik, namun langsung masuk dalam peta izin pertambangan.

Proses manipulasi ini melibatkan aktor lokal seperti Kasman Mahmud (Kepala Desa Maba Sangaji), Edi Septiagus Rajab (Kabid Pemerintahan Desa dan Ketua KNPI Haltim), serta Mukdir Lakoda (anggota BPD sekaligus Humas Eksternal PT Position).

Keterangan gambar: Peta Jejaring Elit Lokal dalam Polemik PT Position. Foto: Tangkapan layar dari Laporan Penelitian JATAM bertajuk bertajuk “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera”.

Keterlibatan mereka memperlihatkan wajah nyata kooptasi: pemerintah desa yang seharusnya melindungi warganya justru menjadi kepanjangan tangan korporasi.

“Ini pola lama, tapi kini lebih sistematis,” ujar Julfikar Sangaji dari JATAM Maluku Utara. “Korporasi menanam pengaruh di desa, menggandeng pemuda, pejabat, bahkan tokoh agama. Akibatnya, warga kehilangan kepercayaan pada negara.”

Bantuan dana, kompensasi, dan janji pekerjaan dijadikan alat tawar. Warga yang menolak disebut pengganggu investasi, sementara aparat negara sibuk menertibkan protes warga demi menjaga “stabilitas investasi”.

Dari puncak jejaring ini—keluarga konglomerat, perwira militer, birokrat, hingga investor asing—tampak bahwa Halmahera Timur bukan sekadar lanskap tambang, melainkan laboratorium kekuasaan.Sebuah tempat di mana “energi hijau” justru tumbuh dari tanah yang dirampas, air yang tercemar, dan hukum yang membisu.

“Halmahera Timur kini jadi model kolonialisme baru: investasi atas nama transisi energi, tapi nyatanya perampasan ruang hidup,” kata Melky Nahar menutup konferensi peluncuran laporan JATAM.

 

error: Content is protected !!