Nikel dari Tanah Terampas: Laporan JATAM Ungkap Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Korporasi di Halmahera

11/11/2025
Keterangan foto: Sampul utama dari laporan penelitian JATAM bertajuk “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera”. Foto: JATAM
  • Laporan terbaru JATAM mengungkap praktik perampasan tanah adat, kriminalisasi warga, dan perebutan kuasa antara korporasi nikel besar di Halmahera Timur, Maluku Utara.
  • PT Position (Harum Energy Group) dan PT Wana Kencana Mineral (WKM) disebut terlibat dalam konflik izin dan tapal batas yang menimbulkan krisis sosial–ekologis di Sungai Sangaji dan wilayah adat Moronopo.
  • Pemerintah lokal dan aparat keamanan diduga berperan dalam memuluskan ekspansi tambang melalui manipulasi batas desa dan kompensasi sepihak untuk membungkam penolakan warga.
  • JATAM menilai hilirisasi nikel yang digembar-gemborkan pemerintah sebagai bagian dari “transisi energi hijau” justru berubah menjadi transisi oligarki—mewariskan ketimpangan, pencemaran, dan kolonialisme baru di tanah Halmahera.

Jakarta,—Di tengah gencarnya kampanye hilirisasi nikel sebagai tulang punggung transisi energi, laporan terbaru Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengungkap sisi gelap industri ini: perampasan tanah adat, kriminalisasi warga, dan pertarungan oligarki tambang di Pulau Halmahera, Maluku Utara.

Dalam laporan bertajuk “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera”, JATAM menyebut wilayah Halmahera Timur kini menjadi “zona konflik terbuka” antara korporasi besar, elit militer-politik, dan komunitas adat yang terus kehilangan ruang hidup.

Peluncuran laporan ini dilakukan secara daring, dengan Melky Nahar, Koordinator JATAM Nasional, dan Julfikar Sangaji, Koordinator JATAM Maluku Utara, sebagai narasumber utama.

Menurut laporan tersebut, hilirisasi nikel yang dijalankan pemerintah sejak 2020 justru menciptakan ketimpangan sosial dan ekologis baru. Alih-alih menjadi strategi pembangunan berkelanjutan, kebijakan ini membuka pintu bagi ekspansi besar-besaran industri tambang dan jaringan oligarki.

“Halmahera Timur kini menjadi wajah paling telanjang dari proyek hilirisasi: tanah-tanah adat dirampas, sungai-sungai dikotori, dan masyarakat adat dipenjara hanya karena membela ruang hidupnya,” ujar Melky Nahar, dalam peluncuran laporan, Selasa, 10 November 2025 .

Keterangan gambar: Sebelas warga adat Maba Sangaji, Halmahera Timur, yang divonis penjara oleh Hakim Pengadilan Soasio Kota Tidore Keplauan. Foto: Susi/titastory

Dalam laporan ini JATAM disebutkan ada tujuh temuan utama dalam riset lapangan di Halmahera Timur, antara lain:

  1. Penjarahan ruang hidup dan tatanan adat oleh ekspansi tambang.
  2. Manipulasi tapal batas dan pembiaran negara.
  3. Kolusi antara korporasi, aparat, dan militer.
  4. Kriminalisasi sistematis terhadap warga penolak tambang.
  5. Perang antar korporasi dan praktik hukum yang dikendalikan modal.
  6. Krisis sosial-ekologis, dari air dan pangan hingga identitas kultural yang terampas.
  7. Absennya negara dalam melindungi hak warga dan lingkungan.

Dalam dua dekade terakhir, Halmahera Timur mengalami transformasi ruang hidup paling drastis di Indonesia. Sungai-sungai yang dulunya jernih kini menjadi keruh oleh lumpur tambang. Ladang sagu dan pala mati perlahan.

“Negara seakan menjadikan Halmahera sebagai laboratorium kebijakan ekstraktif,” kata Julfikar Sangaji, dari JATAM Maluku Utara. “Masyarakat adat diperlakukan sebagai penghalang investasi, bukan penjaga hutan dan air.”

Keterangan gambar: Peta Sebaran Izin Minerba Halmahera Timur. Foto: Tangkapan layar dari Laporan Penelitian JATAM bertajuk bertajuk “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera”.

Dari Ekosistem Adat ke Arena Korporasi

Sejak 1997, Halmahera Timur menjadi arena eksploitasi besar-besaran. PT Aneka Tambang, PT Minerina Bhakti, Yudistira Bhumi Bhakti, PT Heng-Fung, hingga PT Position dan PT Wana Kencana Mineral (WKM) masuk beruntun, membawa izin yang tumpang tindih dan batas wilayah yang berubah tanpa partisipasi warga.

Kini, di atas tanah adat dan kebun-kebun rakyat, berdiri konsesi tambang nikel seluas lebih dari 200 ribu hektar.

JATAM mencatat, PT Position, di bawah kendali Tanito Harum Nickel (THN)—anak perusahaan dari Harum Energy Group—menjadi pemain kunci dalam perebutan lahan tambang di Maba Sangaji. Holding ini dikendalikan oleh keluarga Barki, konglomerat tambang batubara dari Kalimantan Timur yang kini mengalihkan modalnya ke sektor nikel dan logistik industri.

Keterangan gambar: Jejaring Aktor di Balik Seteru PT Position, PT Wahana Kencana Minerał (WKM), dan PT Wana Kencana Sejati (WKS). Foto: Tangkapan layar dari Laporan Penelitian JATAM bertajuk bertajuk “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera”.

Di sisi lain, PT Wana Kencana Mineral (WKM), dengan luas konsesi 24.700 hektar, memperlihatkan kolaborasi antara modal nasional, asing, dan militer.

Struktur kepemilikan WKM melibatkan PT Baja Selatan Lintas Nusantara, PT Sejahtera Jaya Prima, serta Huacai (Hongkong) Limited, dan diisi nama-nama kuat seperti Agum Gumelar (Komisaris Utama) dan Letjen (Purn) Eko Wiratmoko (Direktur Utama).

“Keterlibatan aktor militer dan elit politik di tubuh korporasi tambang nikel memperlihatkan bagaimana izin dan kekuasaan melebur dalam satu kepentingan,” kata Julfikar. “Halmahera Timur menjadi arena persekutuan modal, bukan pembangunan.”

Keterangan gambar: Jejaring Aktor di Balik Seteru PT Position, PT Wahana Kencana Minerał (WKM), dan PT Wana Kencana Sejati (WKS). Foto: Tangkapan layar dari Laporan Penelitian JATAM bertajuk bertajuk “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera”.

Pertarungan Kuasa: Korporasi vs Korporasi, Warga Jadi Korban

Di lapangan, perebutan antara PT Position dan PT WKM berujung pada konflik tapal batas dan jalan tambang (hauling road). PT Position dituduh melanggar kesepakatan dengan membuka jalan baru di kawasan hutan produksi yang dikuasai PT Wana Kencana Sejati (WKS), perusahaan yang masih satu jaringan dengan WKM.

Situasi ini kian kompleks karena WKS sendiri memiliki izin seluas 93.235 hektar, dan telah lama berkonflik dengan komunitas O’Hongana Manyawa (Tobelo Dalam)—kelompok masyarakat adat terasing yang hidup di hutan Halmahera.

“Perseteruan ini bukan hanya soal bisnis,” tegas Melky Nahar. “Ini pertarungan antara oligarki nasional dan transnasional—antara jaringan modal keluarga Barki dan jaringan militer-bisnis seperti WKM. Sementara masyarakat adat dan hutan menjadi korban.”

Konflik yang berlapis itu memperlihatkan wajah ganda industri nikel: satu sisi bicara transisi energi hijau, sisi lain menimbulkan ekokrisis dan perampasan hak hidup.

Keterangan gambar: Jejaring Aktor di Balik Seteru PT Position, PT Wahana Kencana Minerał (WKM), dan PT Wana Kencana Sejati (WKS). Foto: Tangkapan layar dari Laporan Penelitian JATAM bertajuk bertajuk “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera”.

 

Aparat, Desa, dan Persekongkolan Kekuasaan

Temuan lain JATAM memperlihatkan kooptasi pemerintah desa oleh perusahaan tambang. Perubahan batas antara Desa Maba Sangaji dan Desa Wailukum dijadikan dasar hukum baru untuk memperluas konsesi tambang ke wilayah adat Moronopo, ruang hidup penting bagi masyarakat pesisir Teluk Buli.

“Pemerintah desa dan perangkat BPD ikut menandatangani dokumen perubahan batas tanpa sosialisasi publik,” ungkap Julfikar. “Kepala desa, humas perusahaan, dan pejabat Dinas PMD punya hubungan kekerabatan. Itu bentuk state capture di level lokal.”

Menurut laporan, dana kompensasi dari PT Position disalurkan ke sejumlah tokoh adat dan pejabat desa untuk membungkam penolakan warga. Aparatur desa berperan ganda—sebagai representasi masyarakat sekaligus perpanjangan tangan perusahaan.

“Negara berubah fungsi: dari pelindung warga menjadi juru bicara korporasi,” kata Melky Nahar. “Inilah wajah kolonialisme modern di tanah nikel.”

Keterangan gambar: Peta Jejaring Elit Lokal dalam Polemik PT Position. Foto: Tangkapan layar dari Laporan Penelitian JATAM bertajuk bertajuk “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera”.

 

Kriminalisasi dan Krisis Sosial-Ekologis

Kasus penangkapan 27 warga Maba Sangaji pada Mei 2025 menjadi puncak dari pola represi yang sistematis. Sebelas di antaranya divonis penjara karena dianggap “menghalangi investasi”. Padahal, aksi yang mereka lakukan adalah ritual adat menolak tambang di tanah ulayat.

Laporan JATAM juga menyoroti kerusakan Sungai Sangaji sebagai bukti nyata krisis ekologis. Air yang dulu menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi lumpur beracun. Produksi sagu, tanaman pala, dan hasil kebun menurun drastis.

“Air yang dulu bisa diminum langsung, sekarang berwarna merah dan berbau,” ujar Julfikar. “Itu tanda bahwa Halmahera tidak sedang maju — Halmahera sedang sekarat.”

Keterangan gambar: Kondisi DAS Maba yang tercemar material yang diduga karena aktivitas tambang. Foto: Warga

Laporan JATAM menegaskan bahwa narasi “transisi energi hijau” yang diusung pemerintah telah bergeser menjadi “transisi oligarki”.

Investasi nikel yang digadang sebagai masa depan kendaraan listrik justru menimbulkan gelombang kriminalisasi dan pemiskinan di wilayah-wilayah tambang.

“Transisi energi di Indonesia hari ini bukan soal keberlanjutan,” tutup Melky Nahar.
“Ia adalah bentuk baru kolonialisme ekonomi—di mana rakyat menanggung luka ekologis demi baterai mobil di Eropa dan Amerika.”

Sumber: Laporan JATAM Nasional, JATAM Maluku Utara, November 2025
error: Content is protected !!