Jakarta, — Gugatan Menteri Pertanian Amran Sulaiman terhadap Tempo bukan sekadar sengketa pemberitaan. Dalam pandangan banyak jurnalis dan akademisi hukum, langkah itu menjadi penanda bahwa Indonesia tengah bergerak cepat menuju fase konsolidasi kekuasaan yang kian otoriter.
Hal itu mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Amran Sulaiman Hancurkan Ekosistem Pers karena Gugat Media. Apa Dampaknya?” yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Kamis (6/11/2025). Hadir sebagai pembicara antara lain Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Asfinawati, Produser film Dirty Vote Dandhy Dwi Laksono, Dosen FISIP UI Emir Chairullah, dan Direktur LBH Pers Mustafa Layong.

Penyalahgunaan Kekuasaan dan Judicial Harassment
Dalam forum itu, Asfinawati menyebut gugatan Amran terhadap Tempo senilai Rp200 miliar merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Ia menilai, Amran mendayagunakan fasilitas dan sumber daya negara untuk membungkam kritik publik terhadap kinerja kementeriannya.
“Dia menggunakan peralatan negara untuk kepentingan pribadi. Ini bentuk abuse of power—menolak kritik publik sekaligus menutupi jejak kinerjanya,” ujar mantan Direktur YLBHI itu.
Menurutnya, gugatan ini tergolong judicial harassment, atau pelecehan yudisial yang membungkam kebebasan berpendapat yang dijamin undang-undang. Fenomena serupa, kata Asfinawati, pernah menimpa aktivis Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, Guru Besar IPB Bambang Hero Saharjo, hingga masyarakat adat yang bersuara menentang perampasan tanah.
“Gugatan ini menimbulkan chilling effect. Orang takut bicara, takut mengkritik. Secara bentuk tampak beradab, tapi sesungguhnya tidak beradab,” tegasnya.

Gejala Otoritarianisme yang Menguat
Dandhy Dwi Laksono menilai gugatan Amran merupakan bagian dari rangkaian tanda-tanda kembalinya negara ke fase otoritarianisme. Ia menyebut gejala itu terlihat dari absennya oposisi politik, menguatnya peran militer dalam urusan sipil, serta persekutuan oligarki yang menekan kebebasan sipil.
“Langkah Amran menggugat Tempo adalah upaya menutup media itu. Niatnya jelas, hanya saja malu-malu jadi Soeharto. Ini melengkapi babak baru: negara telah masuk fase otoriter,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur LBH Pers Mustafa Layong menegaskan gugatan tersebut cacat hukum karena menabrak mekanisme penyelesaian sengketa pers. “Amran menggugat Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi Dewan Pers—padahal itu domain Dewan Pers, bukan pengadilan. Ini gugatan yang salah alamat,” katanya.
Mustafa menambahkan, langkah hukum Amran justru memunculkan pertanyaan etik karena dilakukan atas nama jabatan publik. “Kalau dia gunakan sumber daya kementerian, itu artinya memakai uang negara untuk kepentingan pribadi,” ujarnya.

Alarm untuk Kebebasan Pers
Kasus ini bermula dari pemberitaan Tempo berjudul “Poles-Poles Beras Busuk” (16 Mei 2025), yang mengulas kebijakan penyerapan gabah oleh Bulog dengan harga tetap Rp6.500 per kilogram. Setelah Dewan Pers memutuskan adanya pelanggaran etik minor, Tempo sudah melaksanakan seluruh rekomendasi: mengubah judul sampul menjadi “Main Serap Gabah Rusak”, meminta maaf, dan melaporkan tindak lanjutnya. Namun Amran tetap menggugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nilai Rp200 miliar.
Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat menegaskan bahwa gugatan itu seharusnya tidak terjadi. “Pers harus dibela,” katanya.
Aliansi Jurnalis Independen mencatat, sepanjang satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, terdapat 71 kasus serangan terhadap jurnalis per Oktober 2025. Bentuknya beragam: dari serangan siber, kekerasan fisik, intimidasi, hingga gugatan hukum. Hanya di Jakarta, AJI mencatat 38 kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam setahun terakhir.
Gugatan Amran terhadap Tempo, bagi kalangan pers, bukan sekadar sengketa. Ia adalah cermin betapa cepat demokrasi memburuk, ketika kritik terhadap pejabat publik bisa dibungkam lewat gugatan miliaran rupiah.
“Ini bukan hanya serangan terhadap Tempo, tapi terhadap hak publik untuk tahu,” ujar Dandhy menutup diskusi.
“Dan ketika publik tak lagi tahu, di situlah otoritarianisme sudah sempurna.”
