Laporan Global: AMAN dan GATC Ungkap 11,7 Juta Hektar Wilayah Adat Indonesia Terancam Industri Ekstraktif

06/11/2025
Keterangan gambar: Peta Citra Satelit Ancaman terhadap masyarakat adat di Indonesia. Sumber foto: GATC Indonesia Regional BH

Jakarta, – Dari Halmahera hingga Mentawai, dari Merauke hingga Kapuas Hulu — tanah adat terus menyempit, sementara izin industri terus meluas.

Dalam laporan global yang dirilis pekan ini, AMAN, GATC, dan Earth Insight menyebut bahwa Indonesia kehilangan lebih dari 11,7 juta hektar wilayah adat akibat ekspansi industri ekstraktif dan proyek pembangunan besar.

Bukan hanya hutan yang hilang, tapi juga rumah, identitas, dan masa depan masyarakat adat yang selama berabad-abad menjaga bumi dengan caranya sendiri.

Laporan bertajuk “Wilayah Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal di Garis Depan: Pemetaan Ancaman dan Solusi di Hutan Tropis Terbesar di Dunia” ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat ancaman tertinggi terhadap masyarakat adat di kawasan hutan tropis dunia.

Riset ini menjadi peringatan keras menjelang Konferensi Iklim COP30 di Brasil, di mana masyarakat adat dari seluruh dunia menuntut pengakuan hak, perlindungan pembela lingkungan, dan akses langsung terhadap pembiayaan iklim.

“Dunia harus tahu: keberlanjutan tidak akan pernah tercapai tanpa kedaulatan masyarakat adat,” ujar Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN.

Dalam analisis spasialnya, laporan ini menemukan:

  • 6 juta hektar wilayah adat tumpang tindih dengan izin pengusahaan hutan,
  • 1,6 juta hektar tumpang tindih dengan blok minyak dan gas,
  • serta hampir 1 juta hektar lainnya telah dikuasai oleh izin pertambangan.

Ironisnya, meski perampasan berlangsung massif, negara baru mengakui kurang dari 1% dari total 25 juta hektar wilayah adat di Indonesia.Sebaliknya, pemerintah telah menerbitkan izin atas 23,8 juta hektar untuk sawit, 18,8 juta hektar untuk hutan tanaman industri, dan 9 juta hektar untuk tambang.

“Perluasan tambang, sawit, dan proyek pembangunan lainnya telah merampas lebih dari 11,7 juta hektar wilayah adat dalam satu dekade terakhir. Dunia harus tahu: keberlanjutan hanya bisa tercapai melalui kedaulatan masyarakat adat,” tegas Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN.

Transisi Hijau yang Meminggirkan Adat

Tekanan terhadap wilayah adat kini datang dari dua arah sekaligus: industri ekstraktif klasik dan proyek energi baru yang diklaim sebagai bagian dari transisi hijau. Alih-alih melindungi hutan, kebijakan hilirisasi nikel dan panas bumi justru memperluas eksploitasi di wilayah masyarakat adat.

“Banyak logam yang ditambang untuk kepentingan energi alternatif, tetapi lahan yang dipakai tumpang tindih dengan wilayah adat,” ujar laporan tersebut.

Laporan ini juga menyoroti krisis kemanusiaan dan ekologis O’Hongana Manyawa (Tobelo Dalam) di Halmahera, Maluku Utara—salah satu masyarakat pemburu-peramu nomaden terakhir di Indonesia.

Masyarakat adat O’Hongana Manyawa (Tobelo Dalam) kini menghadapi ancaman nyata dari tambang nikel.

“Puluhan perusahaan kini menambang di jantung kehidupan O’Hongana Manyawa. Ini bukan hanya pelanggaran hak, tapi ancaman eksistensial,” tulis laporan itu.

Lebih dari 65.000 hektar wilayah adat mereka telah dikapling untuk 19 perusahaan tambang, padahal mereka merupakan salah satu masyarakat pemburu-peramu nomaden terakhir di Indonesia—hidup dalam isolasi sukarela dan sangat bergantung pada hutan.

Kondisi serupa juga terjadi di Papua, Kalimantan, dan Sulawesi. Proyek strategis nasional, termasuk pembangunan infrastruktur dan kawasan industri, banyak tumpang tindih dengan tanah adat yang belum diakui negara.

“Transisi energi tidak boleh menjadi wajah baru kolonialisme ekstraktif,” kata Juan Carlos Jintiach, Sekretaris Eksekutif GATC. “Kita sudah punya peta jalan regenerasi yang nyata — belajar dari masyarakat adat yang menjaga bumi selama berabad-abad.”

Seruan dari Garis Depan: Akui, Lindungi, Biayai

Laporan global ini lahir dari kolaborasi masyarakat adat dunia yang tergabung dalam Global Alliance of Territorial Communities (GATC), mewakili lebih dari 36 juta masyarakat adat dari 24 negara yang melindungi 958 juta hektar hutan tropis di Amazon, Kongo, Indonesia, dan Mesoamerika.

Temuan dari Indonesia memperlihatkan ancaman ganda: selain krisis ekologi akibat ekspansi industri, juga minimnya pengakuan hukum dan akses terhadap pembiayaan langsung bagi masyarakat adat.

Hal inilah yang mendorong AMAN dan GATC menyerukan tiga agenda mendesak menjelang Konferensi Iklim COP30 di Brasil, yakni:

  1. Pengakuan hak atas tanah dan wilayah adat yang dilindungi hukum nasional dan internasional.
  2. Penerapan prinsip Padiatapa (Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan / FPIC) dalam seluruh proyek pembangunan.
  3. Pemberian akses pembiayaan langsung kepada masyarakat adat, bukan hanya melalui negara atau lembaga donor.

Selain itu, laporan menuntut perlindungan terhadap pembela lingkungan hidup dan integrasi pengetahuan tradisional ke dalam kebijakan iklim global.

“Tanpa pengakuan hak teritorial, penghormatan terhadap FPIC, dan perlindungan ekosistem yang menopang kehidupan, tujuan global iklim dan keanekaragaman hayati tidak akan tercapai,” ujar M. Florencia Librizzi, Wakil Direktur Earth Insight.

Laporan ini juga menampilkan kisah inspiratif dari lapangan. Di Flores, masyarakat Gendang Ngkiong berhasil mengklaim kembali 892 hektar tanah adat melalui pemetaan partisipatif.

Sementara di Sumatera Utara, komunitas Ompu Umbak Siallagan memenangkan pengakuan hukum setelah puluhan tahun melawan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Keduanya kini menjadi preseden penting bahwa masyarakat adat bisa mengelola hutan tanpa merusaknya.

Dari Indonesia untuk Dunia

Laporan AMAN, GATC, dan Earth Insight bukan sekadar kumpulan data, tetapi peringatan moral bagi dunia.

Indonesia disebut sebagai contoh ekstrem bagaimana pembangunan atas nama ekonomi hijau dapat menimbulkan “kolonialisme iklim baru”, di mana masyarakat adat menjadi korban pertama atas proyek-proyek yang diklaim berorientasi lingkungan.

“Pemerintah harus menempatkan masyarakat adat sebagai mitra utama, bukan korban pembangunan,” ujar Rukka Sombolinggi.

“Selama hak-hak mereka diabaikan, keberlanjutan hanyalah slogan kosong.”

Menjelang COP30, suara masyarakat adat Indonesia kini bergema lintas benua. Dari Wawonii hingga Merauke, dari Halmahera hingga Kapuas Hulu — pesan mereka sama: “Tanah adalah hidup. Lindungi kami, maka bumi akan tetap hidup.”

Tentang Mitra Laporan

AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)
Organisasi hak masyarakat adat terbesar di Indonesia, memperjuangkan pengakuan wilayah adat dan konservasi berbasis kearifan lokal.

GATC (Global Alliance of Territorial Communities)
Aliansi 36 juta masyarakat adat dari 24 negara penjaga hutan tropis dunia.

Earth Insight
Lembaga riset independen global yang memetakan ancaman industri ekstraktif terhadap masyarakat adat dan ekosistem penting dunia.

 

Sumber Referensi:

  • PBB (2025) – Human Rights and Indigenous Peoples Global Report
  • AMAN (Laporan Tahunan 2024) – Catatan Konflik dan Wilayah Adat di Indonesia
  • KPA (Catatan Akhir Tahun 2023) – Konflik Agraria dan Ketimpangan Penguasaan Tanah
error: Content is protected !!