Rakyat Wawonii Menang di Mahkamah Agung: Negara Harus Cabut Semua Izin Tambang di Pulau Kecil

05/11/2025
Keterangan gambar: Perusahaan sedang menyiapkan pelabuhan bongkar muat dan akan buka jalan melalui lahan warga yang menolak tambang. Foto: Dokumen warga Wawonii/ Mongabay.co.id .

Jakarta, — Perjuangan rakyat Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, menulis ulang peta perlawanan terhadap tambang di Indonesia. Setelah bertahun-tahun hidup di bawah ancaman tambang nikel milik PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak usaha Harita Group, rakyat Wawonii akhirnya memenangkan pertarungan hukum panjang di Mahkamah Agung (MA).

Melalui Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 83 PK/TUN/TF/2025, Majelis Hakim Agung menolak permohonan PK yang diajukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama perusahaan, serta menguatkan pencabutan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) PT GKP di pulau kecil tersebut.

Keterangan gambar: Infografis Rakyat Wawonii Menang di Mahkamah Agung. Sumber foto: titastory dan diolah Artificial intelligence (AI)

Izin tambang di Wawonii diberikan lewat SK Menteri Kehutanan Nomor SK.576/Menhut-II/2014, mencakup lebih dari 700 hektar kawasan hutan. Padahal, Pulau Wawonii hanya seluas 867 km², dihuni sekitar 43 ribu jiwa, dan secara hukum tergolong pulau kecil yang dilarang untuk ditambang.

Sejak 2019, alat berat perusahaan masuk dan merusak ruang hidup warga. Kebun, sumber air, dan laut pesisir rusak; puluhan warga dikriminalisasi karena menolak tambang. Negara seolah menutup mata, membiarkan pulau kecil ditumbalkan atas nama nikel dan transisi energi.

“Ini bukan sekadar soal izin legal atau ilegal, tapi hidup dan matinya rakyat pulau kecil,” kata Muhammad Jamil dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).

Keterangan: eterangan foto: Perusahaan sedang menyiapkan pelabuhan bongkar muat dan akan buka jalan melalui lahan warga yang menolak tambang. Foto: Dokumen warga Wawonii/ Mongabay.co.id .

Putusan Hukum: Tambang di Pulau Kecil Melanggar Konstitusi

Kemenangan warga Wawonii mempertegas prinsip hukum nasional. Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 menegaskan, pemanfaatan pulau kecil diprioritaskan untuk konservasi, pendidikan, perikanan, dan pertahanan — bukan pertambangan.

Selain itu, Pasal 35 huruf k melarang kegiatan yang menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dan pulau kecil.

Mahkamah Agung menilai, kepastian hukum investasi tidak boleh dijalankan dengan mengorbankan keselamatan rakyat dan ekologi. Putusan ini menjadi fondasi moral baru dalam hukum lingkungan Indonesia.

Bagi organisasi lingkungan seperti JATAM, WALHI, KIARA, Trend Asia, dan YLBHI, kemenangan ini harus dibaca sebagai teguran keras bagi negara.

“Kalau pemerintah sungguh berpihak pada rakyat, maka lakukan moratorium nasional terhadap seluruh izin tambang di pulau-pulau kecil,” kata Teo Reffelsen, perwakilan WALHI.

Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, saat ini terdapat 226 izin tambang yang beroperasi di 477 pulau kecil di 21 kabupaten/kota di Indonesia.

Teo menegaskan, seluruh izin industri ekstraktif di wilayah tersebut harus dicabut karena masuk kategori “abnormally dangerous activity” yang berisiko tinggi terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat.

Edy K. Wahid dari YLBHI menilai, putusan PK Wawonii menjadi tonggak penting penegakan hak asasi manusia dan prinsip negara hukum.

“Melindungi ruang hidup rakyat, terutama masyarakat pulau kecil, adalah bagian dari kewajiban negara sebagaimana dijamin konstitusi,” ujarnya.

Lebih dari sekadar kemenangan hukum, putusan Wawonii menjadi preseden nasional untuk menghentikan praktik serupa di wilayah lain seperti Raja Ampat, Maluku, dan pulau-pulau kecil Indonesia yang menghadapi ancaman eksploitasi tambang.

Pulau-pulau kecil, kata mereka, adalah garis pertahanan terakhir ekologi dan kemanusiaan.

error: Content is protected !!