Timika, Papua Tengah — Gelombang penolakan terhadap rencana eksploitasi minyak dan gas di Blok Warim, Papua, kian menguat. Pada Rabu, 30 Oktober 2025, Masyarakat Adat Papua pemilik wilayah adat Agimuga secara tegas menolak rencana eksploitasi migas di tanah adat mereka.
Aksi ini menjadi penolakan resmi pertama masyarakat adat Papua terhadap proyek yang selama setahun terakhir disebut-sebut sebagai “harta karun migas nasional.”
“Tanah kami bukan ruang kosong untuk dijual. Ini tanah leluhur kami,” ujar Emanuel Gobay, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, mewakili suara masyarakat adat Agimuga.

Kawasan Lorentz Terancam
Blok Warim yang disebut memiliki potensi cadangan gas besar itu terletak di wilayah Kawasan Taman Nasional Lorentz, salah satu situs warisan dunia UNESCO yang dilindungi hukum nasional dan internasional.
Namun, rencana eksploitasi migas justru diumumkan berulang kali oleh sejumlah pejabat tinggi negara.
Menteri ESDM mengklaim proyek ini sebagai prioritas strategis nasional, sementara Menteri Investasi menyebut eksplorasi akan dilakukan di luar kawasan lindung.
Sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga kini belum memberi izin eksplorasi karena wilayah itu termasuk zona konservasi ketat.
“Lucunya, semua bicara tentang izin dan investor, tapi tak satu pun dari mereka melibatkan masyarakat adat pemilik wilayah,” ujar Gobay.
Ia menilai, sikap para menteri tersebut menunjukkan pengabaian terhadap prinsip dasar perlindungan hak masyarakat adat Papua yang dijamin oleh Pasal 18B UUD 1945 dan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua.

Perlawanan Hukum dan Moral
Dalam pernyataannya, masyarakat adat Agimuga menegaskan bahwa rencana eksploitasi di Blok Warim tidak hanya mengancam ruang hidup masyarakat adat, tetapi juga melanggar hukum nasional dan internasional.
Menurut Gobay, aksi mimbar bebas masyarakat adat merupakan bentuk perlawanan hukum dan moral terhadap pelanggaran hak atas tanah dan lingkungan.
“Rencana eksploitasi ini adalah pelanggaran terhadap hak masyarakat adat Papua yang dijamin konstitusi. Pemerintah daerah harus berani bersikap, bukan diam,” tegasnya.
Ia menyerukan agar Gubernur Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan, serta para bupati di wilayah terdampak, segera mengambil sikap melindungi hak-hak masyarakat adat sesuai mandat UU Otonomi Khusus Papua.
Menjaga Lorentz, Menjaga Dunia
Wilayah adat Agimuga yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Lorentz bukan hanya benteng ekologis, tetapi juga bagian dari identitas kultural masyarakat adat Papua.
Dengan statusnya sebagai warisan dunia UNESCO, kawasan ini memiliki perlindungan ganda — baik secara hukum nasional maupun internasional.
“Menolak eksploitasi migas di Lorentz berarti mempertahankan warisan dunia dan hak hidup masyarakat adat Papua,” ujar Gobay menutup pernyataannya.
