Gen Z Menagih Tanggung Jawab Iklim: Dari Janji ke Aksi Nyata

30/10/2025
Keterangan gambar: Aksi tagih janji oleh generasi Z soal menjaga alam dari ancaman krisis iklim. Foto: Istimewa

Jakarta, – Di tengah suhu bumi yang terus naik, udara makin pengap, dan bencana yang makin sering datang tanpa musim, generasi muda Indonesia bangkit menyuarakan satu pesan sederhana tapi tegas: kami menagih tanggung jawab iklim.

Dalam Diskusi Dua-Mingguan Nexus Tiga Krisis Planet bertema “Gen Z Menagih Tanggung Jawab Iklim” yang digelar 28 Oktober 2025, dua pembicara muda –Febriani Nainggolan dari Climate Rangers dan Dian Irawati dari Kawula17 – memaparkan keresahan yang lahir dari fakta ilmiah: generasi yang lahir hari ini akan tumbuh di dunia yang lebih panas, lebih kering, dan lebih berisiko dari generasi sebelumnya.

Riset Climate Rangers terhadap 382 responden Gen Z di Jakarta menunjukkan, mayoritas sadar bahwa cuaca ekstrem, banjir, dan polusi yang mereka alami adalah dampak dari perubahan iklim. Namun, 95,5 persen masih menganggap isu iklim sebatas soal cuaca – bukan krisis multidimensi yang memengaruhi kesehatan, pangan, dan masa depan ekonomi.

“Anak yang lahir tahun 2020 akan menghadapi gelombang panas tujuh kali lebih banyak dan kekeringan tiga kali lebih sering dibandingkan kakeknya,” ujar Febriani Nainggolan.

Namun, Febri menyoroti satu hal yang lebih menyakitkan: pelibatan orang muda oleh pemerintah masih sekadar simbolik.

“Sebanyak 62,4 persen responden menilai undangan pemerintah untuk pelibatan anak muda hanya formalitas. Kami hanya dijadikan figuran, bukan pengambil keputusan. Padahal kami yang akan hidup paling lama dengan dampaknya,” tegasnya.

Pemerintah, menurut Febri, perlu membuktikan tanggung jawabnya melalui kebijakan iklim yang lebih ambisius, bukan dengan pidato seremonial.

Keterangan gambar: Aksi tagih janji oleh generasi Z soal menjaga alam dari ancaman krisis iklim. Foto: Istimewa

“Kesadaran Naik, Aktivisme Meningkat”

Sementara itu, Dian Irawati dari Kawula17 mengungkap hasil riset kuartal ketiga 2025 terhadap 404 responden publik: dua isu utama yang paling disorot masyarakat adalah sampah (33%) dan kerusakan akibat tambang (32%).

Kampanye digital seperti #SaveRajaAmpat dan #SavePulauPadar terbukti memperkuat kesadaran publik. Dalam survei lanjutan terhadap 1.342 responden muda, 42 persen kini termasuk kategori participant dan 35 persen activist. “Anak muda bukan lagi penonton. Mereka turun langsung dalam isu lingkungan, HAM, gender, dan antikorupsi,” kata Dian.

Namun, katanya lagi, banyak kebijakan masih memandang anak muda sebagai beban, bukan mitra strategis. “Padahal merekalah yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim,” ujarnya.

Keterangan gambar: Aksi tagih janji oleh generasi Z soal menjaga alam dari ancaman krisis iklim. Foto: Istimewa

Dari Janji ke Aksi Nyata

Krisis iklim kini melampaui batas aman. Dunia berkomitmen menahan pemanasan global di bawah 1,5°C, tapi suhu sudah naik 1,3°C, dan bahkan bisa mencapai 1,9°C jika pemerintah tak segera bertindak.

Lewat jaringan Climate Rangers di 32 provinsi, Gen Z Indonesia menyerukan beberapa tuntutan:

  1. Transisi energi berkeadilan dan berpihak pada rakyat.
  2. Penghentian solusi palsu seperti offset karbon tanpa kejelasan manfaat.
  3. Pengesahan kebijakan berkeadilan iklim dan pelibatan bermakna anak muda.
  4. Pertanggungjawaban historis dari negara-negara besar atas krisis global.

Diskusi yang mengundang perwakilan Kemenpora itu berlangsung tanpa kehadiran pemerintah.

“Jangan undang kami hanya untuk meramaikan panggung,” ujar moderator Fiorentina Refani menutup diskusi. “Dengar suara kami. Ubah kebijakan demi generasi muda. Ambil sikap, bukan slogan.”

Keterangan gambar: Aksi tagih janji oleh generasi Z soal menjaga alam dari ancaman krisis iklim. Foto: Istimewa
error: Content is protected !!