Setahun Prabowo–Gibran dalam Laporan Kurawal: Reformasi Hukum Mandek, Demokrasi Tersendat

30/10/2025
Keterangan: Laporan terbaru Yayasan Kurawal bertajuk “Menakar Perjalanan Demokrasi: Penilaian Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran.Foto: Ist

Jakarta, – Satu tahun berlalu sejak Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Namun, alih-alih memperlihatkan arah baru dalam penegakan hukum dan demokrasi, tahun pertama pemerintahan mereka justru diwarnai dengan kemunduran.

Penolakan gugatan praperadilan para aktivis yang ditangkap pasca aksi massa Agustus Kelabu menjadi salah satu cermin paling jelas. Bagi kalangan masyarakat sipil, peristiwa itu menegaskan bahwa hukum masih bekerja untuk kepentingan kekuasaan, bukan kebenaran.

“Hukum kembali tampil sebagai alat kekuasaan. Aktivis yang bersuara kritis diperlakukan seperti ancaman, sementara aparat yang melakukan kekerasan terhadap peserta aksi dibiarkan tanpa konsekuensi,” tulis Yayasan Kurawal dalam laporan terbarunya bertajuk “Menakar Perjalanan Demokrasi: Penilaian Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran.”

Keterangan: Cermin demokrasi di Indonesia, Foto: Net

Tiga Cermin Demokrasi: Polisi, Papua, dan Hukum

Laporan yang dirilis Yayasan Kurawal pada 29 Oktober 2025 itu menilai tiga sektor utama sebagai barometer demokrasi: reformasi kepolisian, penanganan konflik Papua, dan reformasi hukum. Ketiganya, menurut Kurawal, menggambarkan cara negara memperlakukan rakyat — apakah sebagai warga yang harus dilindungi, atau sebagai objek yang dikendalikan.

1. Reformasi Hukum yang Mandek
Sejumlah kasus kriminalisasi aktivis, penolakan gugatan praperadilan, hingga sikap aparat yang represif menunjukkan bahwa keadilan belum menjadi pedoman utama. “Hukum bekerja untuk menegakkan kekuasaan, bukan kebenaran,” tulis laporan itu.
2. Kepolisian yang Tak Direformasi
Janji pembentukan Tim Reformasi Polri belum juga terealisasi. Polisi, yang menjadi wajah negara paling dekat dengan warga, justru masih kerap terlibat dalam pelanggaran hak warga dan penyalahgunaan wewenang.
“Polri tetap menjadi institusi paling kuat, tetapi juga paling jarang dimintai pertanggungjawaban,” tulis Kurawal.
3. Papua di Tengah Bayang-bayang Militerisme
Di Tanah Papua, kekerasan bersenjata dan proyek ekonomi besar berjalan bersamaan. Negara, kata Kurawal, masih memilih pendekatan militer ketimbang dialog. “Padahal, yang dibutuhkan adalah politik kemanusiaan, bukan senjata.”

Keterangan: Gambaran dari cerminan  demokrasi: Polisi, Papua dan Hukum 

Asta Cita yang Tersisa di Atas Kertas

Presiden Prabowo sempat berjanji melalui Asta Cita—delapan pilar program nasionalnya—untuk mengembalikan supremasi hukum dan memperkuat demokrasi. Khususnya pada poin ke-7: “Penegakan hukum yang adil, transparan, dan bebas intervensi politik.”

Namun, fakta di lapangan justru memperlihatkan arah sebaliknya. Proses hukum masih tumpul ke atas, tajam ke bawah. Reformasi lembaga penegak hukum tak kunjung dimulai, sementara ruang kebebasan sipil semakin menyempit.

“Demokrasi bukan soal seberapa banyak undang-undang dibuat, tapi sejauh mana hukum memberi rasa aman dan bermartabat bagi warga,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Kurawal, (nama bisa disesuaikan).

Keterangan: Desakan Penolakan RUU TNI, Foto: Liputan 6

Pesan Tajam untuk Presiden Prabowo

Laporan ini diakhiri dengan pesan politik yang lugas. Kurawal meminta Presiden Prabowo untuk tidak bersembunyi di balik bayang-bayang pemerintahan sebelumnya.

“Presiden Prabowo, Anda bukanlah Joko Widodo. Berdiam dalam bayang-bayang tentulah nyaman, tetapi Anda dipilih untuk meretas arah baru bagi bangsa ini,” tulis laporan tersebut.

Kurawal mendorong agar Prabowo menepati janji-janji Asta Cita — terutama poin 1, 2, 7, dan 8 — dengan mengembalikan hukum pada keadilan, menempatkan keamanan di bawah kemanusiaan, serta membuka ruang bagi warga untuk bersuara tanpa rasa takut.

Demokrasi yang Padat, Tersendat, dan Kehilangan Arah

Yayasan Kurawal menegaskan bahwa publik tidak sedang menuntut kesempurnaan, melainkan arah yang jelas: apakah pemerintahan Prabowo–Gibran akan membawa Indonesia menuju demokrasi yang matang, atau justru melanjutkan warisan otoritarianisme baru?

Sampai hari ini, jawabannya masih samar. Reformasi hukum berjalan di tempat, ruang kebebasan sipil menyempit, dan dialog politik terus tertunda. Satu tahun sudah berjalan, dan demokrasi Indonesia masih padat — tersendat, dan kehilangan arah.

error: Content is protected !!