New York, – Laporan terbaru The Lancet Countdown 2025 menyajikan fakta paling mengerikan sejak publikasi pertama laporan ini sembilan tahun lalu: kegagalan dunia bertindak terhadap perubahan iklim kini menelan jutaan nyawa setiap tahun.
Kolaborasi riset internasional lintas disiplin itu menunjukkan bahwa ketergantungan global pada bahan bakar fosil, kegagalan kebijakan adaptasi, serta meningkatnya suhu ekstrem telah mengubah krisis iklim menjadi bencana kesehatan global.
“Ketidakberdayaan pemerintah dalam menangani perubahan iklim adalah vonis mati bagi kelompok paling rentan di dunia,” kata Cara Schulte, peneliti di Climate Rights International.
Laporan tersebut menemukan 12 dari 20 indikator iklim dan kesehatan berada pada tingkat kerusakan tertinggi sepanjang sejarah:
- 000 orang meninggal setiap tahun akibat panas ekstrem, meningkat 23% sejak 1990-an.
- 000 kematian disebabkan polusi kebakaran hutan sepanjang 2024.
- 124 juta orang terjebak dalam krisis pangan akibat kekeringan dan gelombang panas bersamaan.
Krisis ini juga menimbulkan kerugian ekonomi besar: paparan panas ekstrem telah menghapus 640 miliar jam kerja dan kehilangan produktivitas global setara USD 1,09 triliun pada 2024.

Ironisnya, di tengah meningkatnya korban jiwa, negara-negara kaya justru mengucurkan subsidi bahan bakar fosil sebesar USD 956 miliar—tiga kali lipat dari komitmen pendanaan iklim global.
“Pemerintah dunia sedang mensubsidi krisis kesehatan publik,” ujar Schulte. “Alih-alih berinvestasi pada energi bersih, mereka mengalokasikan hampir satu triliun dolar untuk bahan bakar fosil—dan pilihan itu membunuh orang.”
Laporan ini menegaskan bahwa kenaikan suhu, ketidakamanan pangan, dan runtuhnya sistem kesehatan adalah ancaman nyata bagi hak asasi manusia: hak atas hidup, kesehatan, pangan, dan standar hidup yang layak.
Meski demikian, harapan belum sepenuhnya hilang. Dalam situasi minim kepemimpinan global, banyak pemerintah kota mulai mengambil langkah adaptasi berbasis kesehatan masyarakat. Antara 2010–2022, sekitar 160.000 kematian dini berhasil dicegah setiap tahun melalui penurunan polusi batu bara.
Energi terbarukan kini menyumbang 12 persen listrik global, dan data kesehatan mulai digunakan di pengadilan sebagai dasar gugatan hukum terhadap pemerintah dan korporasi yang gagal memenuhi kewajiban iklimnya.
“Di balik setiap angka ada manusia yang haknya diabaikan,” pungkas Schulte. “Pemerintah tahu apa yang harus dilakukan. Sekarang saatnya menempatkan kesehatan publik di atas kepentingan korporasi.”
