Jakarta, – Pemerintah Indonesia menggelar Konsultasi Publik Indonesia’s Second Nationally Determined Contribution (SNDC 2.0) di Jakarta, sebagai bagian dari mandat Paris Agreement Pasal 4 dan Decision 1/CP.21 yang mewajibkan negara-negara memperbarui komitmen iklimnya setiap lima tahun.
Namun, di tengah momentum penting ini, Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menilai kebijakan SNDC Indonesia masih jauh dari prinsip keadilan iklim dan partisipasi bermakna.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Boy Jerry Even Sembiring, menilai pendekatan yang digunakan pemerintah terlalu teknokratis dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, bukan perubahan struktural yang dibutuhkan untuk menghadapi krisis iklim.
“Alih-alih menempatkan krisis iklim sebagai persoalan keadilan, SNDC didekati sebagai tantangan pembangunan yang dikelola secara teknokratis. Padahal, krisis iklim adalah manifestasi dari ketidakadilan struktural, di mana sistem ekonomi yang eksploitatif memperdalam ketimpangan dan menghancurkan ruang hidup masyarakat,” ujar Boy dalam siaran pers yang diterima titastory, Kamis (23/10/2025).

Sembiring, Foto: ARUKI
Kritik terhadap Pendekatan Top-Down
ARUKI menilai proses penyusunan SNDC dilakukan secara formalistik dan tertutup. Konsultasi publik hanya dilakukan secara terbatas, tanpa ruang substansial bagi masyarakat sipil, perempuan, nelayan, dan kelompok adat untuk terlibat menentukan arah kebijakan.
“Pendekatan ini mempertahankan sentralitas negara dalam pengambilan keputusan, dan menegasikan kelompok rentan sebagai subjek utama solusi iklim,” kata Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL.
Dalam sektor mitigasi, SNDC 2.0 disebut hanya menggunakan frasa “menghormati, mempromosikan, dan mempertimbangkan” hak masyarakat adat dalam proyek mitigasi Forestry and Other Land Use (FOLU). Bagi ARUKI, formulasi ini bersifat simbolik dan tidak menjamin perlindungan hukum yang nyata.
Torry menegaskan, tanpa pengesahan RUU Masyarakat Adat, konflik lahan atas nama proyek iklim dan energi terbarukan besar-besaran berpotensi berulang. “Perlindungan wilayah adat harus jadi bagian integral dari strategi mitigasi, bukan sekadar catatan pinggir,” tegasnya.
Adaptasi Belum Inklusif
Sementara itu, strategi adaptasi iklim dinilai masih generik dan gagal menjawab kebutuhan kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, buruh informal, dan masyarakat miskin kota.
“Tidak adanya data terpilah dan pengakuan atas biaya ekstra disabilitas menunjukkan bahwa adaptasi yang dijanjikan masih sangat umum. Padahal, realitas sosial-ekonomi di tingkat komunitas sangat beragam,” ujar Torry.
Selain itu, mekanisme pendanaan iklim yang dikendalikan secara terpusat melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dinilai menghambat akses komunitas akar rumput terhadap dana iklim.
“Model pendanaan top-down seperti ini menyulitkan masyarakat adat, petani, dan nelayan yang justru menjadi garda terdepan dalam menjaga ekosistem,” kata Boy.
Desakan Revisi dan Pembaruan Kebijakan
Untuk memperbaiki arah kebijakan, ARUKI mengajukan lima tuntutan kepada Pemerintah Indonesia:
1. Mengakomodasi masukan masyarakat sipil secara substansial dalam dokumen SNDC.
2. Mengarusutamakan keadilan iklim dan hak asasi manusia dalam setiap kebijakan adaptasi dan mitigasi.
3. Membangun mekanisme partisipasi mengikat dengan melibatkan kelompok rentan secara penuh.
4. Mendesain ulang arsitektur pendanaan iklim agar bisa langsung diakses komunitas lokal dengan tata kelola transparan.
5. Mendesak pengesahan RUU Keadilan Iklim sebagai payung kebijakan nasional untuk perubahan iklim yang berkeadilan.
Krisis Iklim Adalah Persoalan Keadilan
ARUKI menegaskan bahwa krisis iklim tidak bisa disederhanakan menjadi urusan emisi dan target karbon, melainkan persoalan hak hidup dan keadilan sosial-ekologis.
“Tanpa keberpihakan yang jelas terhadap kelompok rentan dan pengakuan atas hak-hak masyarakat, komitmen iklim Indonesia hanya akan menjadi dokumen indah tanpa makna,” tegas Boy.
Bagi ARUKI, upaya adaptasi dan mitigasi hanya akan berhasil bila pemerintah menempatkan manusia dan alam sebagai subjek perubahan, bukan sekadar objek proyek.
Tentang ARUKI
Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) adalah blok politik masyarakat sipil yang melibatkan lebih dari 36 organisasi di Indonesia, termasuk WALHI, Yayasan PIKUL, INFID, Solidaritas Perempuan, dan JATAM.
Didirikan pada November 2023, ARUKI berfokus memperjuangkan keadilan sosial dan ekologis dalam menghadapi krisis iklim, dengan menekankan perlindungan kelompok rentan dan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang adil serta berkelanjutan.
