Amnesty International Desak Pemerintah Cabut Nama Soeharto dari Daftar Pahlawan Nasional

23/10/2025
Keterangan gambar: Usman Hamid, Direktur Internasional Indonesia.Foto: Istimewa

Jakarta, – Amnesty International Indonesia (AII) menolak keras usulan Menteri Sosial untuk memasukkan nama Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto, ke dalam daftar calon penerima gelar Pahlawan Nasional.

Langkah tersebut, menurut Amnesty, merupakan ancaman serius terhadap nilai-nilai reformasi dan bentuk pengkhianatan terhadap para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa usulan tersebut berpotensi menghapus semangat reformasi yang lahir dari gelombang protes rakyat 1998.

“Upaya menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah bentuk pengkhianatan terbesar terhadap mandat rakyat sejak 1998. Jika usulan ini diteruskan, maka reformasi bisa berakhir di tangan pemerintahan Prabowo,” ujar Usman dalam keterangan tertulis, Selasa (22/10/2025).

Keterangan gambar Presiden ke-2 RI, Foto: Istimewa

 

Tuding Upaya “Mencuci Dosa” Rezim Orde Baru

Usman menilai, usulan yang diajukan Kementerian Sosial (Kemensos) merupakan bagian dari upaya sistematis untuk “mencuci dosa” rezim Orde Baru yang selama 32 tahun berkuasa melalui praktik otoritarianisme, korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), serta pelanggaran HAM yang meluas.

“Selama berkuasa, Soeharto menormalisasi kekerasan negara, membungkam oposisi, dan memenjarakan kritik. Mengusulkan dia sebagai pahlawan adalah melupakan luka sejarah bangsa,” ujarnya.

 

Abaikan Penderitaan Korban HAM Berat

Amnesty menegaskan, mengangkat Soeharto sebagai pahlawan sama dengan mengabaikan penderitaan ribuan korban yang hingga kini belum memperoleh keadilan.

Lembaga ini merinci sejumlah pelanggaran HAM berat yang terjadi di bawah kekuasaan Orde Baru, antara lain:

• Pembantaian massal 1965–1966
• Penembakan misterius (Petrus) 1982–1985
• Tragedi Tanjung Priok 1984
• Kasus Talangsari 1989
• Kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh, Timor Timur, dan Papua
• Penghilangan paksa aktivis 1997–1998

Usman mengingatkan, negara melalui Ketetapan MPR dan pernyataan resmi Presiden Joko Widodo pada Januari 2023 telah mengakui peristiwa-peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM berat.

“Namun hingga kini tidak ada satu pun aktor utama yang dimintai pertanggungjawaban, termasuk Soeharto,” tegasnya.

Ia mendesak pemerintah agar fokus pada penyelesaian yudisial dan non-yudisial kasus pelanggaran HAM berat, bukan memberi penghargaan kepada sosok yang diduga memiliki tanggung jawab besar dalam peristiwa tersebut.

“Negara seharusnya berpihak pada korban, bukan pada pelaku,” ujar Usman.

 

Desakan Cabut Nama Soeharto dari Daftar Calon Pahlawan

Amnesty International Indonesia meminta pemerintah segera mencabut nama Soeharto dari daftar calon Pahlawan Nasional yang kini tengah disiapkan oleh Kemensos.

“Soeharto tidak layak berada dalam daftar itu, apalagi diberi gelar pahlawan. Mengusulkan namanya adalah bentuk pemutarbalikan sejarah yang berbahaya bagi demokrasi,” tegas Usman Hamid.

 

Latar Belakang Pengusulan

Sebelumnya, Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyerahkan daftar 40 nama calon Pahlawan Nasional kepada Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Fadli Zon, pada 21 Oktober 2025.

Selain Soeharto, daftar itu juga mencantumkan sejumlah tokoh penting seperti aktivis buruh Marsinah, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), serta beberapa ulama dan pejuang nasional lain.

Daftar tersebut akan diajukan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk penetapan akhir sebelum peringatan Hari Pahlawan 10 November mendatang.

error: Content is protected !!