Jakarta, – Deretan karangan bunga berdiri di depan rumah pribadi Presiden Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Selasa (21/10/2025). Sekilas tampak seperti ucapan selamat ulang tahun pemerintahan. Namun jika dibaca lebih dekat, kalimat-kalimatnya berubah menjadi sindiran telak:
“Sembako makin mahal, rokok makin murah.”
“Rakyat butuh gizi, bukan rokok.”
Karangan bunga itu dikirim oleh Komunitas Save Our Surrounding (SOS) untuk menandai satu tahun masa pemerintahan Prabowo–Gibran. Namun di balik wangi bunga, tersimpan pesan getir: kritik atas mandeknya penegakan kebijakan pengendalian tembakau dan murahnya harga rokok di Indonesia, meski Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 sudah disahkan hampir setahun lalu.

Bunga Jadi Bentuk Protes
Aksi “bunga sindiran” itu dimaksudkan sebagai bentuk ekspresi publik terhadap pemerintah yang dinilai abai terhadap perlindungan kesehatan rakyat.
Menurut Aryana Satrya, Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), karangan bunga tersebut adalah simbol ironi kebijakan fiskal dan kesehatan publik.
“Harga rokok di Indonesia sangat murah, baik yang legal maupun ilegal. Akibatnya, perokok tidak mampu mengerem candu rokoknya. Banyak keluarga kehilangan penghasilan untuk kebutuhan dasar seperti makanan dan pendidikan,” ujar Aryana.
“Harusnya rokok legal pun dibuat semahal mungkin agar perokok membatasi diri—syukur-syukur berhenti merokok, dan uangnya bisa digunakan untuk membeli makanan bergizi.”
Rokok Murah, Anak Mudah Beli
Menurut Survei Kesehatan Indonesia 2023, jumlah perokok anak di Indonesia mencapai 5,9 juta jiwa — angka tertinggi di Asia Tenggara.
Penelitian CISDI menunjukkan, remaja masih bisa membeli rokok batangan di warung sekitar sekolah dengan harga hanya Rp2.000–Rp3.000 per batang. Rata-rata pengeluaran remaja untuk rokok berkisar antara Rp30.000–Rp200.000 per minggu, setara setengah pengeluaran per kapita mingguan penduduk Indonesia.
Padahal, hasil riset PKJS-UI menunjukkan 74% perokok akan berhenti jika harga rokok mencapai Rp70.000 per bungkus. Temuan ini memperkuat bukti bahwa kebijakan harga (cukai) merupakan alat efektif untuk menekan konsumsi.
PP 28/2024 Mandek, Promosi Rokok Masih Merajalela
Satu tahun sejak PP No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan disahkan, implementasinya nyaris tak berjalan.
Aturan yang seharusnya melarang iklan, promosi, sponsor, dan penjualan rokok eceran, belum memiliki turunan teknis.
Di lapangan, promosi rokok justru marak di konser musik, event olahraga, hingga kolaborasi kreatif dengan influencer muda.
“Tanpa pengawasan tegas dan keberanian menindak pelanggaran, PP 28 hanya menjadi simbol kosong. Rokok masih dijual batangan di depan sekolah,” kata Aryana.
Pemerintah Dinilai Gagal Jaga Generasi Muda
Menurut SOS, pemerintahan Prabowo–Gibran belum menunjukkan komitmen serius terhadap pengendalian konsumsi rokok.
Surat-surat permohonan dari berbagai organisasi kesehatan dan masyarakat sipil ke Istana tak mendapat tanggapan.
Kekecewaan publik makin dalam ketika sekitar 30 karangan bunga yang dikirim ke rumah Prabowo justru diturunkan hanya beberapa jam setelah tiba.
“Ironis, pemerintah lebih terganggu oleh tulisan di papan bunga dibanding oleh fakta bahwa jutaan anak masih bisa membeli rokok di depan sekolah,” ujar salah satu perwakilan SOS.
“Tahun Kedua Harus Jadi Titik Balik”
Tulus Abadi, perwakilan komunitas SOS, menegaskan bahwa Presiden Prabowo memiliki peluang penting untuk memperbaiki arah kebijakan publik.
“Presiden punya kesempatan besar untuk membalikkan keadaan dengan memastikan tidak ada konflik kepentingan di kabinet, terutama di lembaga yang seharusnya melindungi rakyat, bukan melayani industri,” katanya.
“Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan seharusnya berani mengambil posisi tegas. Tahun kedua masa jabatan ini harus jadi titik balik.”
Tentang Komunitas SOS
Save Our Surrounding (SOS) adalah gerakan masyarakat sipil dengan lebih dari 2.800 anggota lintas profesi, fokus pada isu pengendalian konsumsi rokok, lingkungan hidup, dan hak anak.
Komunitas ini memiliki delapan fokus utama: kesehatan, pendidikan, ekonomi, lingkungan, hak asasi manusia, kebijakan publik, budaya sosial baru, dan perlindungan anak.
Melalui kampanye “Rakyat Butuh Gizi, Bukan Rokok”, SOS berkomitmen mendorong gaya hidup sehat dan lingkungan bebas asap rokok demi Indonesia yang lebih berdaya.
