Dobo,- Mirna (35) merapikan bajunya saat duduk di kursi, sesekali matanya menoleh ke arah balita berusia satu tahun, Keila anaknya yang sedang berusaha berdiri. “Pelan-pelan saja,” kata Mirna kepada Keila.
Perempuan itu mengepal tangannya hingga tampak memerah ketika bercerita ihwal pengalamannya menjadi pekerja perempuan di industri pengolahan ikan. Masih teringat jelas di benaknya masa-masa bekerja selama lima tahun sejak perusahaan itu berdiri pada tahun 2018 hingga ia mengalami PHK pada Februari 2025 lalu.
Mirna bekerja sebagai pegawai kontrak di PT Laut Timur Utama, perusahaan penangkapan dan pengolahan ikan yang berlokasi di Desa Durjela, Kota Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru. Perusahaan ini menyuplai pasokan ikan untuk tiga perusahaan distribusi makanan seperti, PT Sumber makanan sehat, PT Aneka Niaga Indonesia, PT Bisnis Rakyat Indonesia.

Mirna tak menyangka, surat pemutusan hubungan kerja tiba-tiba datang untuknya usai menanyakan keterlambatan pembayaran tunjangan makan dan gajinya yang ditahan selama empat bulan. Alasan perusahaan menahan pembayaran gajinya karena ia dituduh membantu bekas atasannya yang diduga menjual besi tua milik perusahaan.
Mirna menolak dianggap terlibat lantaran ia hanya mengikuti perintah atasan. Menurutnya, uang hasil penjualan itu digunakan untuk membayar upah pekerja kapal yang belum dibayar.
“Beta (saya) dituduh seperti itu, tapi itu tidak benar,” kata Mirna.
Ia memberanikan diri meminta bantuan serikat dan melapor ke Dinas Ketenagakerjaan setempat lantaran sadar hak-haknya tak dipenuhi. Gaji yang ia terima selama bekerja Rp 2,6 juta tidak sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP) Maluku yang sebesar Rp 3,1 juta.
“Rata-rata yang bekerja di sini gajinya dibawah UMP,” ungkapnya.
Sebelum kasus Mirna, kejadian serupa juga dialami rekannya, Imel. Kala Itu Dinas Ketenagakerjaan sedang mensosialisasikan aturan ketenagakerjaan di perusahaan itu. Imel lantas bertanya ihwal hak-hak bagi para pekerja. Setelah acara sosialisasi itu digelar, ia diberhentikan.
Baginya, apa yang ia lakukan itu semata-mata untuk mendorong para pekerja lain supaya berani bersuara atas ketidakadilan yang mereka alami. Minimnya pengetahuan perempuan tentang isu ketenagakerjaan dan apa-apa saja haknya menjadi musabab mereka tidak paham tentang kontrak kerja.
“Kasus beta (saya) kemarin, beruntung bersikeras untuk beta punya hak, tapi kalau seng (tidak) berarti hak-hak itu bisa hilang percuma,” kata Mirna.
Tak hanya soal gaji dan biaya lembur murah, soal cuti melahirkan pun terkendala. Ada yang bahkan bekerja hingga saat akan melahirkan. Padahal seharusnya, kata Mirna, sebulan sebelum melahirkan mereka harus diberikan cuti.
“Beta (saya) pernah tanya, kenapa belum 40 hari setelah melahirkan sudah masuk kerja. Tapi dia menjawab kalau nanti gaji tidak diberikan, terpaksa harus masuk kerja,” ceritanya.
Para perempuan yang merupakan buruh harian maupun buruh kontrak merelakan waktu mereka untuk bekerja agar gaji mereka tak dipotong. Tak jarang saat pertengahan bulan, mereka mengambil pinjaman uang dari perusahaan untuk memenuhi tanggung jawab mereka sebagai ibu rumah tangga.
“Kita pulang, ada anak-anak harus sekolah, kalau gaji yang kecil terpaksa mereka utang,” tuturnya.

Ketua serikat Pekerjaan Kepulauan Aru, Johan Galanggoa mengatakan, kasus Mirna adalah contoh kehidupan buruh perempuan di industri perikanan.
“Dari kasus Mirna ini akhirnya terbuka banyak perusahaan yang tidak membayar upah pekerja yang sesuai,” kata Johan.
Aturan upah pekerja diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, khususnya Pasal 81 angka 28 dan Pasal 88E ke dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang mengatur kewajiban pengusaha agar tidak membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang berlaku, baik upah minimum provinsi maupun upah minimum kabupaten atau kota.
Pasal ini juga menegaskan bahwa kesepakatan upah antara pengusaha dan pekerja tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, termasuk ketentuan upah minimum. Jika kesepakatan upah lebih rendah dari upah minimum, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum.
Masalah ketenagakerjaan di Aru semakin rumit saat para pekerja tidak diberikan salinan kontrak kerja. kontrak kerja selama ini dipegang oleh perusahaan. Minimnya pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) di daerah itu juga menyulitkan untuk para buruh perempuan ini mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak mereka sebagai pekerja.
“Jadi bagaimana pekerja mau tahu hak-haknya kalau kontrak itu dipegang perusahaan, dari kasus ini kami akhirnya tahu rata-rata kontrak pekerja ada di perusahaan” tegas Johan.

Lemahnya pengawasan di daerah
Wilayah Pengelolaan Perikanan 718 (WPP-718) Laut Arafura, Kabupaten Kepulauan Aru turut menyumbang sebelas persen dari total produksi perikanan di Indonesia. Potensi sumber daya perikanan di Kepulauan Aru mendorong berkembangnya bisnis pengolahan ikan termasuk menyediakan layanan kapal kontainer dan pabrik pembekuan ikan di daerah itu.
Hasil produksi perikanan itu diolah menjadi menu makanan laut dan diekspor ke luar negeri. Rata-rata hasil pengolahan ikan yang berasal dari Kepulauan Aru diekspor ke China yang dikirim melalui pelabuhan di Surabaya, Jawa timur.
Food And Agriculture (FAO) menyebut, Indonesia adalah salah satu dari sepuluh eksportir makanan laut terbesar di dunia. Sementara data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) nilai ekspor produk perikanan Indonesia pada triwulan I 2025 mencapai USD 1,94 miliar.
Kenyataannya di balik makanan laut yang diekspor dengan nilai tinggi ada nestapa para pekerja perempuan di sana. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023 jumlah pekerja perempuan di sektor perikanan sebesar 23,23 persen atau berkontribusi dalam ekonomi keluarga sebesar 34,37 persen.
Mereka umumnya bekerja di pabrik pengolahan ikan yang memiliki fasilitas cold storage di Dobo, ibukota Kabupaten Kepulauan Aru.
Boy Darakai, Kepala Bidang Hubungan Industrial Dinas Ketenagakerjaan Kepulauan Aru, mengatakan saat ini keterlibatan perempuan dalam industri pengolahan ikan mencapai 80 persen lebih dari separuh tenaga kerja di sektor perikanan. Mereka dipekerjakan di bagian produksi penyortiran dan pengepakan ikan sebelum dikirim ke luar Maluku.
Perlindungan pekerja perempuan di industri pengolahan ikan di daerah berjuluk Jargaria itu masih lemah. Beberapa persoalan yang kerap dihadapi para pekerja misalnya, tidak mendapatkan perlindungan sosial, upah minimum yang dibayar tak sesuai dan minimnya akses di tempat kerja.
“Dari puluhan industri pengolahan ikan di Kota Dobo, bisa 50 persen pekerja mereka tidak dilengkapi BPJS,” kata Boy.
Belum lagi saat mereka bekerja lembur dengan kondisi dingin ketika kapal-kapal pengangkut ikan baru mendarat di dermaga larut malam.
Saat gelombang tinggi, kata Boy, kapal-kapal ikan milik perusahaan bergiliran bongkar muatan. “Katakanlah ada 10 kapal yang bongkar, berarti mereka harus bekerja sampai larut,” katanya.
Para buruh ini menerima upah lembur berkisar Rp 10.000 sampai Rp 15.000 per jam dimana jumlahnya kecil untuk kerja berat seperti itu.
Boy tak menampik, pihaknya jarang melakukan pengawasan terhadap perusahaan perikanan yang melanggar hak-hak pekerja karena kewenangan itu berada di tingkat provinsi.
“Di Dobo ini hanya melakukan pemantauan kewenangan ada di provinsi,” ungkapnya.
Di sisi lain, buruh perempuan takut melapor ke dinas bila mengalami ketidakadilan, karena khawatir akan dipecat karena pekerjaan itu. Banyak dari mereka menyandarkan diri di bisnis itu sebagai satu-satunya sumber pencaharian mereka. Alasan lain adalah ada tekanan dari pihak perusahaan. “Banyak yang melapor itu laki-laki,” kata Boy.
Dia menceritakan, pada tahun 2019 lalu, buruh perempuan di PT Laut Timur Utama pernah hendak melakukan aksi damai.Sehari sebelumnya mereka berkoordinasi dengan Disnakertrans Kota Dobo juga pihak perusahaan.
Namun aksi itu batal digelar lantaran perusahaan melibatkan pihak kepolisian. Menurutnya, aksi itu merupakan cara komunikasi para pekerja untuk menyuarakan hak-hak mereka terhadap perusahaan dan dinas terkait. Keterlibatan polisi justru makin mengintimidasi pekerja.
“Mereka sudah berkoordinasi dengan perusahaan dan Disnaker untuk aksi damai 1 hari. Tapi yang terjadi pihak perusahaan menurunkan polisi, mereka takut. Ini kan aksi hubungan industrial, ada dinas bukan tugas polisi kecuali ada ricuh. Jadi memang sengaja dibatasi,” kata Boy.
Peneliti Kebijakan Maritim, Mida Saragih mengungkapkan, permasalahan buruh perempuan terutama di daerah pesisir sebagian besar dipengaruhi oleh minimnya akses pendidikan dan pelatihan yang berfokus pada pemberdayaan perempuan.
Hal tersebut menyebabkan adanya relasi kuasa antara pihak perusahaan kepada buruh perempuan. Menurut dia, di kalangan pengusaha, ada stereotip terhadap buruh perempuan karena dianggap lebih rajin dan militan sehingga perempuan dipekerjakan dengan biaya murah.
“Stereotip itulah yang menyebabkan perempuan ditempatkan di tempat-tempat tertentu,” kata Mida.
Dari kondisi tersebut, untuk mengakomodir kepentingan buruh perempuan maka yang bisa dilakukan ialah kerja sama antara pemerintah di daerah, pengusaha dan juga para buruh itu sendiri. Dia mencontohkan, apabila para buruh perempuan diberikan ruang dan akses untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dengan sendirinya mereka memiliki kesadaran untuk berserikat.
Dengan begitu mereka memiliki posisi tawar dan mampu bernegosiasi dengan pihak perusahaan. Selain itu, mereka bisa memahami dimensi sosial, ekonomi dan pengetahuan untuk menguatkan strategi dan mendorong kebijakan di tingkat bawah.
Sedangkan pihak perusahaan bisa melakukan evaluasi terkait standar keselamatan dan kesehatan kerja. Selanjutnya, dalam kebijakan yang dibuat, perusahaan dapat membuat aturan yang berfokus pada peningkatan pengetahuan yang memberdayakan para buruh perempuan.
“Perusahaan harus memenuhi standar, dari standar itu mereka bisa evaluasi standar mana yang belum ada. Jika perusahaan memiliki peraturan tentang pengetahuan manusia justru lebih berkelanjutan,” tuturnya.
Sementara itu, pemerintah daerah perlu mengoptimalisasi fungsi pengawasan di daerah agar memantau apakah terjadi pelanggaran HAM khususnya di daerah kepulauan, termasuk membuat kebijakan yang mendukung pendidikan berbasis perikanan yang kontekstual untuk membangun daerahnya.
“Isu perikanan jauh dari pusat tidak ada yang memantau. Padahal dari sisi perikanan potensial sekali. Yang bisa dilakukan pemerintah, mulai menciptakan optimalisasi di daerah yang mendukung pendidikan, ini bisa jadi prototipe,” katanya.
Rencana Regulasi Baru Bisnis dan HAM

Kementerian Hukum dan HAM berencana menggodok regulasi baru terkait bisnis dan HAM yang mewajibkan setiap perusahaan lokal maupun perusahaan asing mematuhi Hak Asasi Manusia (HAM). Hal itu disampaikan Menteri Hukum dan HAM, Natalius Pigai saat memberikan sambutan pada acara penguatan kapasitas HAM bagi pelaku usaha, Selasa, 19 Agustus 2025 di Jakarta.
Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional (Stranas) Bisnis dan HAM yang menekankan setiap pelaku usaha wajib memenuhi standar HAM. Namun, dalam Stranas tersebut belum ada ketentuan yang mengatur perusahaan wajib mematuhi HAM.
Dalam aturan itu, perusahaan hanya diminta secara sukarela mendaftar di aplikasi Penilaian Risiko Bisnis dan HAM untuk mengidentifikasi, mencegah, dan mengurangi risiko pelanggaran HAM dari aktivitas bisnis.
Menurut Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, dalam lampiran Stranas Bisnis dan HAM disebutkan dasar penyusunannya berdasarkan kajian dasar dalam tiga sektor, yaitu perkebunan, pertambangan dan pariwisata. Sementara industri perikanan tangkap yang juga dipenuhi pelanggaran HAM hingga potensi kerja paksa justru tidak terwakilkan dalam kajian tersebut.
“Stranas BHAM tetap perlu dicermati secara kritis agar dapat diimplementasikan dengan baik. Khususnya, DFW melihat Stranas BHAM belum mencakup konteks industri kelautan,” kata Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan.
Jauh sebelum stranas itu dibuat, inisiatif sertifikat HAM telah tertuang pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 35 tahun 2015 tentang Sertifikat HAM Perikanan. Namun, hingga saat ini belum ada sertifikat yang diterbitkan oleh KKP.
“Kurangnya insentif untuk pelaku usaha dan adanya sertifikat ‘tandingan’ di PP No. 27 tahun 2021 menjadi hambatan dari pelaksanaan sertifikat HAM perikanan,” katanya.
Nantinya, pemerintah harus menjamin peraturan teknis mengatur mekanisme pengawasan, pihak yang bertanggung jawab dan berwenang untuk mengawasi pelaksanaan Stranas bisnis dan HAM dan menjatuhkan sanksi. Hal tersebut penting untuk memaksa pelaku usaha mematuhi aturan sehingga pemerintah dapat menagih tanggung jawab pelaku usaha.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara, Adi Nurohman dalam penelitiannya yang berjudul perlindungan hak pekerja perempuan melalui sertifikasi HAM berperspektif gender menyebutkan, indikator kepatuhan HAM dalam peraturan sistem dan sertifikasi HAM perikanan membuat pelaku usaha berpotensi mengabaikan temuan pelanggaran HAM bagi pekerja perikanan yang tidak termasuk dari indikator tersebut.
Berdasarkan kajian di atas, sistem dan sertifikasi HAM di sektor perikanan dalam Peraturan Menteri Nomor 35 Tahun 2015 dapat dilaksanakan secara maksimal apabila ada harmonisasi antara peraturan lainnya yang sejalan untuk mendorong inisiasi pelaku usaha dalam meningkatkan penghormatan HAM pekerja di kegiatan bisnisnya.
“Tanggung jawab ini juga tidak terkecuali pada perlindungan pekerja perempuan, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam relasi bisnis dan HAM,” tulis Nurohman
Dia merekomendasikan, cakupan indikator kepatuhan HAM dalam aturan itu harus diperluas dengan tidak mengabaikan isu perempuan yang diatur secara detail di dalamnya, merujuk pada panduan Uji Tuntas Perilaku Bisnis UN Guiding Principle On Business and Human Rights (UNGPs) dan Women Empowerment Principles (WEPS) sebagai referensi. Sehingga pelaksanaan uji tuntas HAM dapat berjalan efektif dan mampu mencegah dampak terjadinya pelanggaran terhadap buruh perempuan.
Semestinya, kata dia, ruang lingkup indikator kepatuhan HAM tidak terbatas dari temuan pelanggaran HAM pekerja perikanan dan metode pemulihan berdasarkan inisiatif dari pelaku usaha itu sendiri sebagaimana yang dimaksud dalam UN Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs).
Berdasarkan UN Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) dan Women Empowerment Principles, UN Global Compact dapat menjadi referensi bahwa Indikator sebagian dari uji tuntas HAM harus diaplikasikan berdasarkan perspektif gender.
Dimana indikator itu juga dijabarkan seperti mencakup hak politik penentuan kebijakan perusahaan yang berbasis gender, hingga keterlibatan pembuatan laporan kemajuan penghormatan HAM terhadap perempuan serta publikasinya kepada masyarakat.
Oleh karena itu, perlunya integrasi isu penghormatan HAM pada pekerja juga bagian dari Sertifikasi Kelayakan Pengolahan Ikan.
“Perbaikan ketentuan ini ke depan harus menjadi bagian program PUG (Pengarusutamaan gender) yang ada di Kementerian Kelautan dan Perikanan,” katanya.
Sebagaimana disebutkan dalam teori hukum feminis, usaha untuk meminimalisir tindakan diskriminasi, kesenjangan hak perempuan, serta tindakan-tindakan yang memarginalkan perempuan harus dimulai dari pemikiran yang mengedepankan perempuan dalam pembentukan suatu kebijakan.Oleh karena itu, perlunya integrasi isu penghormatan HAM pada pekerja juga bagian dari sertifikasi kelayakan pengolahan Ikan.
Upaya pemerintah memajukan prinsip HAM dalam sektor bisnis memberi ruang untuk mengurangi risiko adanya pelanggaran HAM. Namun, jika tidak diawasi baik di tingkat pusat maupun di daerah maka potensi pelanggaran HAM pada sektor perikanan akan terus terjadi di Indonesia.
Dalam laporan Labour Rights Indonesia Seafood Sector Tahun 2024, para peneliti menguraikan bagaimana peta jalan untuk menyelesaikan masalah yang sudah mengakar itu. Diantaranya, diperlukan partisipasi banyak pemangku kepentingan, termasuk perusahaan kecil dan menengah, pemerintah, LSM, dan terutama para pekerja industri perikanan di garis depan.
Pekerja industri perikanan meliputi nelayan tradisional skala kecil, awak kapal besar yang dilengkapi dengan fasilitas pemrosesan dan pembekuan, pembudidaya ikan, pelaku usaha terkait dan banyak orang lain yang terlibat dalam proses pengolahan makanan laut itu sampai ke meja makan kita.
Kebijakan nasional memiliki pengaruh besar terhadap upaya perusahaan, dan keterlibatan pemerintah dapat mempercepat perbaikan di tingkat tapak.