Pendeta dari Pulau Obi Menggugat Tambang: Menyelamatkan Tanah, Laut, dan Persaudaraan

04/10/2025
Para Pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) Klasis Pulau-Pulau Obi yang menjadi tiang penyangga spiritual di Desa Bobo dan Wooi memimpin dan mencari dukungan di tingkat nasional, Foto : Ist

titastory, Jakarta — Sebuah seruan perlawanan moral bergema dari Pulau Obi, Maluku Utara. Para pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) Klasis Pulau-Pulau Obi—yang menjadi tiang penyangga spiritual di Desa Bobo dan Wooi—datang ke Jakarta untuk mencari dukungan nasional demi membendung rencana dan aktivitas pertambangan yang mereka anggap mengoyak tanah kelahiran mereka.

Di balik jubah kesederhanaan, Pendeta Mersye Pattipuluhu dari Desa Bobo dan Pendeta Silwanus Lasera dari Desa Wooi tidak hanya membawa surat, tetapi juga menyuarakan suara hati komunitas yang terancam. Mereka mendapat sambutan hangat dari keluarga besar gereja melalui Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), wakil rakyat Graal Taliawo (DPD RI Maluku Utara), dan koalisi masyarakat sipil seperti YLBHI, WALHI, JATAM, Greenpeace, dan lainnya. Bersama-sama mereka mendatangi Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menyerahkan keberatan resmi.

Keterangan : Para Pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) Klasis Pulau-Pulau Obi mencari dukungan di tingkat nasional, Foto : Ist

Air Mata dari Bobo dan Wooi

Konflik ini berpusat pada dua desa yang menghadapi ancaman berbeda namun berbagi penderitaan yang sama.

Di Desa Bobo, warga menolak kehadiran PT Intim Mining Sentosa (IMS) dan operasi PT Karya Tambang Sentosa (KTS) yang berafiliasi dengan Harita Group. Warga menilai tambang ini telah memicu sengketa batas wilayah, merusak hutan, bahkan memecah persaudaraan. Dampaknya nyata: banjir kini datang lebih sering, membawa hantaman kayu dari hutan yang dibuka paksa. Ancaman terhadap mata pencaharian sebagai nelayan dan pekebun pala, cengkeh, serta kelapa menjadi mimpi buruk yang nyata. Mereka merasa hak-hak dasar mereka diabaikan karena prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) tidak pernah dipenuhi sejak penolakan mereka satu dekade lalu.

Nasib serupa menimpa Desa Wooi. Meski kepala desa dan seluruh warga tegas menolak rencana tambang pasir besi PT Bela Sarana Permai, perusahaan itu tetap melanjutkan proses perizinan dan bahkan telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi hingga 2038. Ini menjadi pukulan telak bagi warga yang menggantungkan hidup dari laut dan ladang, di tengah kewajiban negara untuk hadir melindungi rakyatnya.

“Suara kami sederhana: hentikan tambang yang merusak persaudaraan antar-desa dan mengancam ruang hidup kami,” desak Pendeta Mersye Pattipuluhu.“Pemerintah harus hadir melindungi, bukan membiarkan konflik tumbuh bersama ekspansi tambang.”

“Hak kami atas lingkungan yang baik dan sehat tidak bisa dinegosiasikan,” tambah Pendeta Silwanus Lasera.

Identitas yang Dipertaruhkan

Bagi masyarakat Obi, laut, daratan, dan hutan bukan sekadar sumber penghidupan, melainkan bagian dari identitas dan warisan budaya yang dirawat turun-temurun. Perusakan masif oleh tambang berarti kehilangan segalanya.

Ketua Klasis GPM Pulau-Pulau Obi, Pendeta Esrom Lakoruhut, menegaskan harapan agar perusahaan dan pemerintah memiliki hati untuk menghentikan aktivitas pertambangan.

“Alih-alih membiarkan konflik, pemerintah pusat harus mencabut IUP milik PT IMS, PT KTS, dan PT Bela Sarana Permai,” ujarnya.

Solidaritas Iman dan Hukum

Dukungan dari PGI datang tanpa syarat. Sekretaris Umum PGI, Pendeta Darwin Dermawan, menegaskan Gereja  tetap akan berdiri dan bersama jemaat  untuk mempertahankan ruang hidup dari ancaman tambang.

“PGI berdiri bersama jemaat di seluruh Indonesia yang gigih mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman tambang.”

Di ranah politik, anggota DPD RI, Graal Taliawo, memfasilitasi warga Obi agar bisa langsung menyampaikan keberatan mereka kepada pejabat di Kementerian ESDM dan KLHK.

Tak hanya itu, jejaring pendeta dan aktivis juga melayangkan surat penolakan kepada lembaga-lembaga keuangan seperti Bank Mandiri dan Bank DBS, yang terindikasi mendanai Harita Group. Langkah ini didasari laporan kerusakan lingkungan yang parah—mulai dari ikan yang tercemar logam berat hingga ditemukannya kandungan berbahaya kromium heksavalen (Cr VI) di air.

Krisis Tata Kelola dan Tuntutan Koalisi

Koalisi masyarakat sipil, seperti JATAM, WALHI, dan Trend Asia, menegaskan bahwa kekhawatiran warga Bobo dan Wooi sangat beralasan. Mereka merujuk pada kasus penggusuran paksa warga Desa Kawasi oleh Harita Group, yang kini memperluas operasi ke desa-desa lain.

Rere Christanto dari WALHI menyebut kehadiran tambang sebagai cerminan krisis tata kelola sumber daya alam yang mengabaikan hak-hak masyarakat atas ruang hidup.

“Proses perizinan yang mengabaikan suara rakyat menunjukkan negara lebih memilih kepentingan korporasi daripada keselamatan warganya.”

Trisna Harahap dari Jaringan Kerja Lembaga-Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) menambahkan:

“Perjuangan ini adalah upaya mempertahankan bobarene (ruang hidup) dan hongana (sumber subsisten), benteng identitas lokal yang tidak bisa ditukar dengan industri tambang.”

Koalisi Masyarakat Sipil di Jakarta meluncurkan tuntutan kolektif diantaranya:

  1. Hentikan seluruh operasi penambangan di pulau-pulau kecil.
  2. Cabut izin tambang yang diterbitkan tanpa persetujuan masyarakat adat, termasuk di Bobo dan Wooi.
  3. Lakukan audit menyeluruh yang transparan.
  4. Pulihkan lingkungan dan penghidupan warga.
  5. Pastikan pemenuhan hak-hak dasar warga dan perlindungan kearifan lokal.

Perjuangan masyarakat Pulau Obi menjadi pengingat bahwa hak atas kehidupan, lingkungan yang sehat, dan identitas adat harus ditempatkan di pusat setiap kebijakan negara—bukan dikorbankan demi ekspansi korporasi.

error: Content is protected !!