HUKUM INKLUSI DAN PKBH LPPM UNTAD: DINAMIKA SEJARAH, PERAN STRATEGIS, DAN TANTANGAN ADVOKASI MASYARAKAT HUKUM ADAT DI SULAWESI TENGAH

27/09/2025
  • “Dies Natalis Untad adalah saat tepat untuk menegaskan bahwa keunggulan pengabdian kepada masyarakat adalah nilai inti yang menghasilkan income generating (immateriil) berupa reputasi, kolaborasi, dan pengembangan SDM berkualitas.”

  • “Hukum inklusi adalah jalan menuju keadilan rekognitif, sebuah pengakuan bahwa keadilan tidak hanya tentang pembagian sumber daya, tetapi juga tentang penghormatan atas identitas, budaya, dan kedaulatan Topo Tara Ngapa Vatutela.”

  • “Universitas Tadulako sebagai institusi negeri harus melampaui tugas akademik dengan aktif memperjuangkan akses keadilan bagi kelompok rentan melalui pengabdian masyarakat yang terstruktur dan profesional sebagai income generating (immateriil) kampus.”

Mhr. Tampubolon

Tana Ntotu’angga, Pusaka Ntotu’a Ngga, Naupa Jamo Ivenu Kasusa Nu Tuvungga, Kami Tamalai Ri Ngapangga, Apa Tananggu’i Tanangga Mpasanggani — Tanah leluhur kami, warisan leluhur kami. Bagaimanapun susahnya hidup kami, kami tidak akan meninggalkan tanah kami, karena tanah ini adalah tanah ulayat kami.”

Momentum Dies Natalis: Pengabdian sebagai Jiwa Universitas

Dies Natalis menjadi momen penting bagi perguruan tinggi, bukan hanya untuk merayakan capaian akademik, tetapi juga untuk merefleksikan peran sosialnya. Universitas Tadulako (Untad), sebagai perguruan tinggi negeri di Sulawesi Tengah, memiliki tanggung jawab tidak hanya mencetak lulusan unggul tetapi juga menjadi agen perubahan sosial melalui pengabdian masyarakat.

Dalam konteks pembangunan dan berbagai konflik sosial di Sulawesi Tengah, fungsi pengabdian masyarakat menjadi krusial. Ia harus dijalankan secara profesional, terstruktur, dan berorientasi pada keadilan. Di sinilah Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) LPPM Untad hadir sebagai ujung tombak pengabdian yang menyentuh langsung aspek keadilan sosial dan akses hukum, terutama bagi kelompok rentan.

Sejarah dan Fondasi PKBH LPPM Untad

PKBH bermula dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Universitas Tadulako yang berdiri secara de facto pada 1 September 2009. Legalitas formalnya diberikan melalui SK Rektor No. 1455/N28/KL/2012 tertanggal 23 Februari 2012. Lembaga ini lahir dari gagasan para akademisi Fakultas Hukum, antara lain Dr. H.M. Yasin Nahar, SH., MH., Abd. Rahman, SH., MH., Dr. M.H.R. Tampubolon, SH., MH., dan almarhum Dr. Suprin Na’a, SH., MH., yang memiliki komitmen kuat memperluas akses keadilan bagi masyarakat miskin dan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Sulawesi Tengah.

Sejak awal, PKBH tidak sekadar menjadi penyedia bantuan hukum konvensional, tetapi juga mengintegrasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi — pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat — dalam memperjuangkan keadilan sosial. Dengan demikian, PKBH berperan sebagai public justice vehicle, penggerak advokasi hukum inklusi yang menghasilkan income generating immateriil berupa reputasi, kolaborasi, dan kepercayaan publik bagi Untad.

Peran Strategis: Academic Advocacy untuk Keadilan Rekognitif

PKBH memosisikan diri sebagai jembatan antara sistem hukum negara dan kebutuhan riil MHA. Fungsinya mencakup:

  1. Layanan Hukum Pro Bono – mendampingi penyelesaian sengketa agraria, advokasi pengakuan hutan adat, dan perlindungan kelompok rentan.
  2. Riset Berbasis Kebutuhan Komunitas – pemetaan wilayah adat, kajian akademik sebagai dasar kebijakan, publikasi hasil riset.
  3. Pendidikan Hukum dan Pemberdayaan – sosialisasi hukum adat dan hak konstitusional, pelatihan paralegal adat, dan membangun dialog antara akademisi, pemerintah, dan komunitas adat.

Model ini melahirkan konsep advokasi akademik (academic advocacy), yang memadukan riset dan advokasi sehingga menghasilkan pembelajaran empiris bagi mahasiswa dan dosen serta memperkuat kebijakan berbasis bukti.

Kepemimpinan dan Kontinuitas

Sejak berdiri pada 2009, kepemimpinan PKBH terus berkembang:

  • 2009–2011 – Dr. H.M. Yasin Nahar memfokuskan konsolidasi dan pembangunan jejaring.
  • 2012–2017 – Abd. Rahman memperkuat kapasitas litigasi dan advokasi berbasis kebutuhan masyarakat miskin dan MHA.
  • 2017–kini – Dr. Muhammad Hatta Roma Tampubolon (SK Rektor No. 11529/UN28/KP/2023) memimpin dengan visi hukum inklusi yang lebih intensif.

Di bawah kepemimpinan ini, PKBH berperan dalam pengakuan dan integrasi enam hutan adat seluas 17.501 hektar ke dalam RTRWP Sulawesi Tengah 2023–2042, serta mendukung penolakan terhadap kebijakan Badan Bank Tanah yang menghambat akses reforma agraria komunal di Sigi.

Landasan Hukum dan Advokasi Inklusif

PKBH beroperasi dengan payung hukum Permendikbudristek No. 41 Tahun 2023 yang menegaskan pengabdian masyarakat sebagai bagian dari Tri Dharma. Dalam advokasinya, PKBH juga berpegang pada Putusan MK No. 35/PUU-IX/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara.

Dalam kasus konflik di Poboya–Vatutela, PKBH menyoroti tumpang tindih klaim antara kawasan konservasi TAHURA dan konsesi PT. CPM. PKBH menilai izin tersebut cacat hukum karena tidak memenuhi prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), dan menimbulkan kerusakan ekologis serta kriminalisasi terhadap warga adat.

Paradigma ini menolak penerapan hukum yang asimetris: keras kepada warga kecil, lunak kepada pemodal besar. PKBH mendokumentasikan dampak penggunaan merkuri dan sianida oleh PETI terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan, serta mengusulkan alternatif ekonomi berkelanjutan bagi komunitas adat.

Hukum Inklusi: Paradigma untuk Keadilan Substantif

Paradigma hukum inklusi yang diusung PKBH menentang dominasi legal centralism dan mengakui MHA sebagai subjek berdaulat. Prinsip utamanya adalah:

  1. Pengakuan Subjek – MHA sebagai pemilik sah wilayah ulayat, bukan “pengganggu” kawasan konservasi.
  2. Keadilan Rekognitif – melindungi identitas, kelembagaan, dan budaya adat.
  3. Partisipasi Deliberatif – memastikan setiap kebijakan terkait wilayah adat melalui mekanisme FPIC.

Model ini memperlihatkan bahwa perguruan tinggi dapat menjadi aktor transformasi sosial hukum, bukan sekadar menara gading akademik.

Pembelajaran dari Pengalaman Internasional

Pengalaman negara lain menunjukkan pentingnya kerangka hukum inklusif:

  • Kanada – pengakuan konstitusional eksplisit atas masyarakat adat diperkuat oleh peradilan progresif.
  • Filipina – undang-undang khusus masyarakat adat menjadi fondasi pengakuan dan perlindungan hak.
  • Korea Selatan – integrasi perspektif budaya dalam hukum pidana untuk mencegah kriminalisasi adat.
  • UNDRIP dan ICCPR – standar global yang menuntut pengakuan, partisipasi, dan perlindungan hak MHA.

Indonesia secara konstitusional mengakui MHA (Pasal 18B(2) dan Pasal 28I(3) UUD 1945), namun praktiknya masih menghadapi hambatan regulasi sektoral dan kepentingan ekonomi ekstraktif.

PKBH menghadapi tantangan nyata berupa resistensi birokrasi, disharmoni regulasi, keterbatasan sumber daya, dan tekanan kepentingan ekonomi. Namun, keberhasilan advokasinya—seperti pengakuan enam hutan adat di RTRWP—membuktikan bahwa academic advocacy dapat mengubah kebijakan dan memperkuat keadilan substantif.

Paradigma hukum inklusi menuntut komitmen berkelanjutan dari negara, perguruan tinggi, masyarakat sipil, dan MHA sendiri untuk menggeser tata hukum nasional dari sentralistik menuju inklusif.

 

Penutup: Memaknai Dies Natalis Untad

“Advokasi tanpa riset adalah gerakan yang buta, sementara riset tanpa advokasi adalah pengamatan yang dingin. PKBH memadukan keduanya menjadi academic advocacy yang membumi dan transformatif.”

“Dies Natalis Untad adalah momentum refleksi dan penguatan komitmen menjadi universitas unggul yang berperan aktif memperjuangkan keadilan dan pemberdayaan masyarakat melalui pengabdian sebagai income generating (immateriil) kampus.”

“Paradigma hukum inklusi menuntut keadilan substantif yang melebihi teks undang-undang, menyentuh hak hidup kolektif dan identitas kultural MHA.”

PKBH LPPM Untad telah menunjukkan bahwa perguruan tinggi dapat menjadi penggerak perubahan nyata. Hukum inklusi yang dipraktikkan tidak hanya memberi pengakuan formal tetapi juga mengembalikan martabat dan kedaulatan masyarakat hukum adat sebagai subjek pembangunan.

error: Content is protected !!