Mafia Hukum di Balik Solar 1 Ton di KKT: Nelayan Kecil Jadi Tumbal

16/09/2025
Keterangan : Bukti penyitaan BMM oleh Satpolair KKT, Foto : Ist
  • La Kamaludin, nelayan asal Sulawesi Tenggara yang sudah menetap di Saumlaki sejak 2007, kini duduk di kursi terdakwa.
  • Ia dituduh memperjualbelikan 1 ton solar bersubsidi, meski seluruh proses hukum yang menjeratnya penuh kejanggalan: penyitaan tanpa surat, BAP janggal, hingga dakwaan yang dinilai cacat hukum.
  • Kasus ini mencerminkan bagaimana nelayan kecil bisa dengan mudah dijadikan tumbal mafia hukum.

titastory, Saumlaki |  Di tengah perjuangan nelayan kecil mencari penghidupan di laut, La Kamaludin, seorang nelayan perantau asal Sulawesi Tenggara yang telah menetap di Saumlaki sejak 2007, justru berakhir di kursi terdakwa. Ia didakwa memperjualbelikan 1 ton solar bersubsidi, padahal proses hukum yang menjeratnya penuh kejanggalan: mulai dari penyitaan tanpa surat perintah, BAP yang tak diberikan, hingga surat dakwaan yang dinilai cacat formil.

Ironisnya, perjalanan hukum yang menjerat La Kamaludin penuh kejanggalan: penyitaan tanpa surat perintah, pemeriksaan tanpa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang sah, penetapan tersangka dengan tanggal berbeda, hingga surat dakwaan yang dinilai cacat hukum. Banyak pihak menilai, kasus ini hanyalah upaya mencari “kambing hitam” dari nelayan kecil, sementara aktor utama justru dibiarkan lepas.

Polisi saat melakukan penggeledahan di atas KMN Anwar Jaya di Kabupaten Kepulauan Tanimbar : Foto : Ist

Dari Nelayan Kecil ke Terdakwa

Sejak 2007, La Kamaludin menetap di Saumlaki. Ia menghidupi keluarganya dengan melaut, bahkan berani mengambil pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk membeli kapal dan memperbesar usahanya. “Saya hanya cari makan di laut. Tidak pernah terlibat urusan besar-besar,” kata Kamaludin kepada kuasa hukumnya.

Masalah bermula ketika ia membeli 1 ton solar bersubsidi dari Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBUN) Saumlaki. Solar itu ditujukan untuk kapal KMN Anwar Jaya milik Ayudin, rekannya sesama nelayan. Proses pembelian berlangsung terbuka. Bahkan, dokumen kapal dan rekomendasi dari Dinas Perikanan disiapkan sesuai aturan.

Sebelum pengisian, Kamaludin bersama Ayudin sudah meminta izin kepada Komandan KP3 Saumlaki dan Kapolsek. “Tidak ada yang disembunyikan. Semua terbuka,” kata Julius Batlayeri, pengacara Kamaludin.

Namun, justru keterbukaan itu berujung petaka. Pada 29 Mei 2025, personel Polairud Polres KKT menyita solar dari kapal Anwar Jaya tanpa menunjukkan surat penyitaan maupun surat perintah penyelidikan. Malam itu juga, Kamaludin ditangkap.

Keterangan : Barang bukti BBM yang disita. Foto : Ist

Penyitaan Tanpa Surat

Kuasa hukum menyebut tindakan Polairud cacat prosedur. Menurut Pasal 38 KUHAP, penyitaan harus dilakukan dengan surat perintah sah, kecuali dalam keadaan mendesak. Fakta di lapangan menunjukkan tidak ada surat yang diperlihatkan.

“Penyitaan itu ilegal, otomatis seluruh proses berikutnya juga batal demi hukum,” tegas Julius.

Tak hanya itu, keluarga Kamaludin tidak pernah menerima SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan). Padahal, menurut Pasal 109 KUHAP, SPDP wajib diberikan kepada tersangka, keluarga, dan jaksa penuntut umum dalam waktu 7 hari sejak penyidikan dimulai.

BAP Ditahan, Hak Tersangka Dikebiri

Dalam sidang pembacaan eksepsi, terungkap fakta lain yang memperkuat dugaan kriminalisasi. Kuasa hukum beberapa kali meminta salinan BAP Kamaludin, namun penyidik menolak memberikannya.

Bahkan, ketika jaksa akhirnya menunjukkan BAP di persidangan, dokumen itu dinilai janggal: tidak ada tanda tangan penyidik, penyidik pembantu, maupun tersangka. “Ini bukan BAP, melainkan kertas kosong yang dijadikan alat bukti,” ujar Julius lantang di ruang sidang.

Situasi ini jelas bertentangan dengan asas due process of law. “Tersangka tidak tahu apa yang dituduhkan, tapi sudah ditahan berbulan-bulan. Itu penyiksaan hukum,” tambahnya.

Keanehan lain muncul dari dokumen penetapan tersangka dan penahanan. Surat penetapan tersangka Kamaludin bertanggal 18 Juli 2025, tetapi surat perintah penahanan ditandatangani sehari sebelumnya, 17 Juli 2025.

“Bagaimana mungkin seseorang ditahan sebelum resmi ditetapkan sebagai tersangka?” tanya Julius dalam eksepsi. Menurutnya, kontradiksi tanggal ini membuktikan ada rekayasa dalam administrasi penyidikan.

Ayudin: Dari Rekan Menjadi DPO

Kasus ini semakin membingungkan ketika status Ayudin, pemilik kapal Anwar Jaya, tiba-tiba berubah. Awalnya, Ayudin diamankan bersama Kamaludin. Namun, ia kemudian dilepaskan dan baru ditetapkan sebagai tersangka 60 hari kemudian. Belakangan, Ayudin malah ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO).

“Ini permainan. Mengapa yang punya kapal dilepas, sementara nelayan kecil dijadikan tumbal?” ujar Julius.

Dakwaan yang Cacat

Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjerat Kamaludin dengan Pasal 55 UU Migas dan Pasal 40 UU Cipta Kerja, terkait penyalahgunaan BBM bersubsidi. Namun, dakwaan itu dianggap kabur dan tidak jelas.

Kuasa hukum menilai JPU gagal menjelaskan secara cermat hubungan antara rekomendasi Dinas Perikanan dengan dugaan tindak pidana. Unsur “melawan hukum” juga tidak terpenuhi.

“Kalau hanya soal rekomendasi, itu ranah administrasi, bukan pidana. Tidak ada aturan yang bisa memidanakan orang karena soal administrasi rekomendasi,” kata Julius.

Ia menambahkan, dakwaan JPU melanggar Pasal 143 KUHAP, yang mengharuskan dakwaan disusun secara jelas, cermat, dan lengkap. “Dakwaan cacat formil dan materiil. Seharusnya batal demi hukum.”

 Indikasi Mafia Hukum

Rangkaian kejanggalan dalam kasus ini menguatkan dugaan adanya mafia hukum. Penyidik melakukan penyitaan tanpa dasar hukum, BAP tidak sah, SPDP tidak diberikan, dan jaksa tetap melanjutkan perkara dengan dakwaan yang cacat.

“Ini jelas kriminalisasi. Nelayan kecil dijadikan korban untuk menunjukkan kinerja aparat. Padahal, aktor besar bisa bebas melenggang,” kata Julius.

Praktik semacam ini, menurut pengacara HAM di Ambon, bukan hal baru. “Banyak kasus perikanan dan BBM di Maluku yang dijadikan ladang bagi oknum aparat. Nelayan kecil selalu jadi sasaran empuk,” ujarnya.

Sidang eksepsi Kamaludin kini memasuki tahap krusial. Jika majelis hakim berani menolak dakwaan JPU, maka perkara ini bisa dihentikan. Namun, jika dakwaan diterima, Kamaludin terancam hukuman penjara meski bukti terhadapnya rapuh.

Bagi banyak kalangan, kasus ini bukan sekadar soal 1 ton solar. Ia mencerminkan ketidakadilan struktural yang menimpa nelayan kecil: aturan hukum ditegakkan tajam ke bawah, tumpul ke atas.

“Kasus ini akan menjadi ujian, apakah pengadilan bisa berpihak pada keadilan atau tunduk pada mafia hukum,” tutup Julius.

error: Content is protected !!