Imbas Kebijakan Pemda Aru, Sopir Truk Pasir Saling Hadang di Jalanan

11/09/2025
Keterangan : Berjumpa sopir truk pengangkut pasir. Foto: Johan/titastory

titastory, Dobo – Kebijakan larangan penambangan galian C di wilayah pesisir Kabupaten Kepulauan Aru menimbulkan ketegangan di lapangan. Sesama sopir truk pengangkut pasir kini saling hadang di jalan, menuding adanya perlakuan tebang-pilih dari pemerintah daerah.

Insiden terbaru terjadi pada Rabu (10/9/2025) di jalan Perikanan, Dusun Belakang Wamar, Dobo. Sejumlah sopir truk menghentikan kendaraan sesama rekan mereka yang kedapatan mengangkut pasir dari lokasi penambangan ilegal.

Surat edaran Bupati Aru, Timotius Kaidel, tertanggal 28 Juli 2025, secara tegas melarang aktivitas penambangan ilegal pasir dan batu di kawasan pesisir kota. Namun, di lapangan kebijakan itu justru menimbulkan tafsir ganda.

Sony, salah seorang sopir, mengatakan aksi pemalangan sudah mereka lakukan sejak Minggu (7/9/2025). Menurutnya, larangan hanya berlaku untuk sebagian sopir, sementara ada pihak lain yang tetap bebas beroperasi.

Keterangan : Antrean truk akibat di hadang sesama sopir pengangkut pasir galiann C, Foto : Jhon/titastory.id

“Katong sudah lakukan pemalangan sejak hari Minggu. Sebab ada kami yang dilarang, tapi sebagian dibiarkan. Itu yang bikin kami marah,” kata Sony.

Ia menuding material yang tetap diangkut berasal dari PT Mulia Karya Konstruksi, yang menggunakan pasir hasil galian C ilegal untuk pekerjaan long sement di kawasan Dewan Lama menuju kantor Bupati.

Bagi para sopir, kebijakan Pemda terkesan tidak adil. Terlebih, meski pemerintah menyediakan alternatif berupa pasir hitam yang didatangkan dari Seram, harganya dinilai terlalu tinggi untuk masyarakat.

“Kalau kami jual Rp500 ribu per kubik saja masih ditawar, apalagi kalau harga dari Pemda Rp750 ribu per kubik ditambah ongkos muat dan mobil. Itu terlalu berat bagi warga,” keluhnya.

Sony juga menyebut, proyek-proyek pemerintah masih saja memakai pasir pantai, padahal suplai pasir hitam sudah ada. “Katanya pasir pantai dilarang karena merusak lingkungan, tapi kenyataan proyek tetap pakai pasir pantai,” tambahnya.

Sebelumnya, para sopir juga pernah menanyakan langsung kepada Bupati terkait aktivitas PT Mulia Karya Konstruksi. Saat itu, kata Sony, jawaban yang diterima cukup membingungkan.

“Waktu itu katong tanya, kalau aktivitas kami dilarang karena merusak lingkungan, kenapa perusahaan di belakang bisa tetap jalan? Bupati bilang itu lahan milik pribadi dan nanti direhabilitasi. Itu bikin kami tambah bingung,” ujarnya.

Kebijakan yang dianggap tidak konsisten ini kini berimbas pada gesekan horizontal di antara para sopir. Mereka berharap pemerintah segera mengambil langkah tegas agar aturan berlaku adil untuk semua pihak.

error: Content is protected !!