Oleh: Jackson Ikomou, Aktivis dan Pegiat Media di Papua
titastory, Mimika – Isu Freeport kembali mengguncang Papua Tengah. Bukan soal cadangan emas atau kontribusi pajak, tetapi tentang pilihan moral: emas Freeport atau nyawa ribuan buruh.
Sejak 2017, ribuan pekerja Freeport di-PHK sepihak setelah aksi mogok yang mereka lakukan. Perusahaan menuding mereka mangkir, sementara serikat buruh menegaskan aksi itu dilindungi Undang-Undang. Negara, yang seharusnya menjadi penengah, justru membiarkan ribuan buruh kehilangan pekerjaan tanpa solusi.
Akibatnya, ribuan keluarga jatuh miskin, kehilangan jaminan kesehatan, dan hidup dalam stigma. Sebagian buruh bahkan meninggal dalam kondisi sakit dan tanpa perlindungan sosial. Delapan tahun berlalu, luka itu belum juga tertutup.
Beban Moral Pemimpin Daerah
Gubernur pertama Papua Tengah, Meki Fritz Nawipa, kini dihadapkan pada ujian kepemimpinan. Apakah ia akan sekadar menjadi perpanjangan tangan kepentingan korporasi? Atau berani berdiri membela rakyatnya sendiri?
Jika ia memilih diam, sejarah akan mencatat bahwa emas lebih berharga daripada nyawa manusia. Tetapi jika ia berpihak pada buruh dan menuntut keadilan, Papua Tengah bisa menjadi pelopor perlawanan moral atas ketidakadilan struktural yang telah bercokol puluhan tahun.
Kasus Freeport bukan sekadar konflik industrial. Ia telah berubah menjadi problem kemanusiaan. Buruh yang kehilangan pekerjaan tidak hanya kehilangan penghasilan, tetapi juga identitas sosial dan martabat.
Konstitusi mengamanatkan perlindungan setiap warga negara. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menegaskan hak atas pekerjaan, kesehatan, dan kehidupan yang layak. Karena itu, pemerintah tidak bisa lagi berdalih bahwa ini hanya urusan antara perusahaan dan serikat.

Menanti Keberanian Politik
Hari ini, bola ada di tangan Gubernur Papua Tengah. Yang dibutuhkan bukan sekadar pernyataan normatif, melainkan keberanian politik dengan Mendesak penyelesaian kasus PHK massal Freeport; Membuka ruang dialog multipihak dan Memastikan pemulihan hak-hak buruh.
Langkah ini mungkin tidak populer di mata elite bisnis maupun pemerintah pusat. Tetapi jika Papua Tengah berani menempatkan kemanusiaan di atas modal, sejarah akan mencatatnya sebagai titik balik penting.
Sejarah Papua sudah terlalu lama diwarnai luka kolonialisme dan eksploitasi. Jangan biarkan era otonomi baru ini sekadar melanjutkan pola lama: emas mengalir keluar, sementara rakyat tetap menderita.
Pilihannya jelas: emas Freeport atau nyawa ribuan buruh. Suara rakyat menunggu, sejarah mencatat, dan dunia mengawasi.