Pendekatan Militer di Papua Tanpa Pemahaman HAM, Picu Konflik Berkepanjangan

29/08/2025
Ilustrasi Penyiksaan Warga Yang Diduga Dialkukan Oknum Aparat TNI. (Foto: PAHAM Papua)

titastory, Jakarta – Eskalasi konflik di Papua terus meningkat. Data penelitian mencatat, jumlah insiden mencapai 209 kejadian sepanjang 2023, melonjak dari 66 kejadian pada 2015, dengan 79 korban jiwa terdiri dari warga sipil, TNI, dan Polri. Puncak ketegangan terjadi pada 2019–2020, dipicu protes anti-rasisme yang menewaskan lebih dari 130 orang.

Dalam penelitian berjudul Strategi Smart Power dalam Menghadapi Ancaman Gerakan Organisasi Papua Merdeka (GOPM), Teguh Wiratama dkk. menegaskan keberhasilan operasi keamanan di Papua tidak bisa semata-mata mengandalkan kekuatan militer.

“Pendekatan humanis berbasis dialog menjadi penentu stabilitas jangka panjang di Papua,” tulisnya dalam laporan penelitian yang juga melibatkan wawancara pejabat TNI, Polhukam, serta mantan anggota OPM.

Warga kampung Walenggaru, Distrik Gome Utara, Puncak, Papua Tengah terlihat berada di lokasi Sole Mosip (52) lansia yang meninggal karena diduga terkena bom udara dari Militer Indonesia. Foto: Istimewa

Smart Power dan Tantangan HAM

Strategi smart power menggabungkan hard power (operasi militer) dengan soft power (diplomasi, pembangunan sosial-ekonomi, dan kultural). Namun penelitian itu menilai, tanpa pemahaman hak asasi manusia (HAM) yang kuat di tubuh aparat, strategi ini berpotensi gagal.

“Pelanggaran HAM di masa lalu telah menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat Papua. Maka, penting bagi pemerintah memperkuat pemahaman HAM di kalangan aparat keamanan,” tegasnya.

TNI memang mulai mengadopsi strategi Operasi Militer Selain Perang (OMSP), termasuk program pendidikan, kesehatan, hingga pembangunan ekonomi di Papua. Tetapi peneliti menilai, upaya tersebut harus disertai komitmen nyata pada penghormatan HAM agar tidak memicu resistensi baru.

Viktor Yeimo menyampaikan tuntutan dari rakyat Papua kepada PBB. Foto : Ist

Diplomasi Internasional

Selain pendekatan dalam negeri, penelitian ini juga menyoroti pentingnya diplomasi internasional. Dukungan dari negara ASEAN, Pasifik Selatan, hingga PBB dinilai strategis untuk memperkuat posisi Indonesia, sekaligus menunjukkan komitmen terhadap penyelesaian damai.

Penelitian ini menekankan bahwa keberhasilan smart power sangat ditentukan oleh dialog terbuka dengan masyarakat adat, pemuka agama, dan tokoh pemuda Papua. Hanya dengan interaksi sejajar, strategi keamanan bisa berubah dari sekadar penindakan menjadi upaya membangun kepercayaan jangka panjang.

Penulis: Johan Djamanmona

 

error: Content is protected !!