titastory, Ambon – Aliansi Baku Jaga Tanah menilai regulasi yang dilahirkan negara justru membuka jalan bagi perampasan ruang hidup masyarakat adat di Maluku. UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dan PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan disebut menjadi pintu masuk ekspansi industri ekstraktif ke wilayah adat.
“Regulasi itu dimanfaatkan pengusaha untuk memperluas tambang di Maluku. Masyarakat adat tidak dihargai, ruang hidup mereka dirampas, dan kalau melawan langsung dibenturkan dengan hukum,” kata Risalah Namakule, koordinator aksi mahasiswa dalam orasinya di Kota Ambon, 27 Agustus 2025.
Menurut Namakule, wajah industri ekstraktif selalu dipoles dengan narasi “peningkatan ekonomi nasional”. Namun di pedesaan, yang terjadi justru deforestasi, rusaknya pesisir, hilangnya mata pencaharian, hingga kriminalisasi masyarakat adat pejuang lingkungan.

Kasus Negeri Haya
Negeri Haya, di jantung Pulau Seram, disebut sebagai bukti nyata ancaman tersebut. Berdasarkan laporan investigasi Mongabay Indonesia, operasi produksi pasir granit oleh PT Waragonda Mineral Pratama sejak 2021 telah mempercepat abrasi, merusak area pemakaman umum, menggusur kebun warga, hingga membatasi wilayah tangkap nelayan.
“Jejak krisis sosial-ekologi ini memicu gelombang penolakan sejak 2020 dan memuncak pada 2025, ketika masyarakat adat Haya bersama pemerintah negeri dan Saniri memasang Sasi Adat untuk mengklaim kembali wilayah adatnya,” ujar Namakule.
Namun, 16 Februari 2025, sasi adat itu dirusak pihak perusahaan. Warga yang marah lalu membakar sebagian pabrik perusahaan. Dari peristiwa itu, dua pemuda Haya, Ardi Tuahan (kepala pemuda) dan Husain Mahulauw, ditangkap polisi dan dijadikan tersangka penghasutan.

Menurut Namakule, kriminalisasi itu cacat hukum. “Padahal pembakaran dipicu perusakan sasi adat. Perjuangan Ardi dan Husain seharusnya dilihat sebagai bagian dari menjaga lingkungan. Sesuai Permen LHK No.10/2024, pejuang lingkungan tidak bisa dituntut pidana maupun perdata,” katanya.
Tuntutan Aliansi
Aliansi Baku Jaga Tanah bersama masyarakat adat Negeri Haya menyampaikan enam tuntutan:
1. Mencabut izin PT Waragonda Mineral Pratama di Pulau Seram.
2. Mempertanyakan lambatnya penanganan laporan tindak pidana pertambangan oleh Polda Maluku.
3. Membebaskan Ardi dan Husain, dua pemuda adat Negeri Haya.
4. Menghentikan kriminalisasi masyarakat adat pejuang lingkungan.
5. Mengakui dan melindungi wilayah adat sesuai prinsip HAM dan hukum adat.
6. Mendesak DPR segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat.
Penulis: Redaksi