titastory, Sorong – Rencana pemindahan empat tahanan politik (Tapol) Papua—Abraham G. Gamam, Nikson Mai, Maksi Sangkek, dan Piter Robaha ke Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, menuai kecaman keras dari warga di Kota Sorong, Papua Barat Daya.
Solidaritas Rakyat Papua Pro Demokrasi menilai langkah itu sebagai bentuk diskriminasi hukum terhadap orang asli Papua.
“Proses persidangan empat Tapol dipindahkan ke Makassar dengan alasan kondisi Kota Sorong tidak aman akibat gangguan keamanan dan bencana alam. Alasan itu terkesan dibuat-buat,” kata Simon Nauw, Koordinator Umum Solidaritas Rakyat Papua Pro Demokrasi, dalam siaran pers yang diterima titastory.id, Jumat, 23 Agustus 2025.

Dinilai Tanpa Dasar Hukum
Direktur LBH Kaki Abu Sorong, Leonardo Ijie, menegaskan bahwa rencana pemindahan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang sah. Menurutnya, kewenangan pengadilan untuk mengadili perkara sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Rencana pemindahan Tapol ini tidak punya pijakan hukum. Ini menunjukkan sistem hukum yang diskriminatif terhadap orang Papua,” kata Leonardo.
Ia menambahkan, konstitusi seharusnya mengamanatkan perlindungan bagi kelompok rentan, termasuk masyarakat miskin. Pemindahan persidangan justru berpotensi memperberat beban keluarga Tapol.
Keadilan yang Memiskinkan
Menurut Leonardo, pemindahan ke Makassar melanggar asas peradilan yang ringkas, cepat, dan berbiaya ringan. Alih-alih memudahkan, keluarga kini harus menanggung biaya besar untuk transportasi, akomodasi, makan, hingga pendampingan pengacara selama proses sidang.
“Pemindahan ini sama dengan memiskinkan keluarga. Keadilan yang seharusnya mudah dan murah, malah dibuat mahal dan sulit,” ujarnya.
Kasus ini, menurut aktivis dan pengacara, semakin menambah panjang catatan diskriminasi hukum terhadap orang Papua. Sebelumnya, empat Tapol tersebut dilaporkan mengalami sakit selama menjalani masa tahanan di Polresta Sorong.
Kini, ketika suara politik mereka justru ingin diuji di pengadilan, prosesnya dialihkan ke luar Papua.
“Ini tidak hanya soal hukum, tetapi juga memperlihatkan pola diskriminasi sistematis yang terus dialami orang Papua,” tegas Simon.
Penulis: Johan Djamanmona