Koalisi Masyarakat Sipil: UU Kehutanan Gagal Merdekakan Rakyat

17/08/2025
Koalisi masyarakat siapil. Foto : Ist

titastory, Jakarta – Memperingati 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi UU Kehutanan menilai Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) gagal mewujudkan kemerdekaan rakyat. Alih-alih melindungi, aturan ini justru melanggengkan praktik kolonial yang menyingkirkan masyarakat dari tanah dan hutan.

Sejak revisi UU Kehutanan dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2024–2029, proses legislasi dinilai jauh dari prinsip keterbukaan. “Konsultasi sudah tiga kali dilakukan, tapi dua di antaranya tertutup dan tanpa dokumentasi publik. RUU-nya pun tidak dibuka. Publik tidak tahu apa yang dinegosiasikan Komisi IV dengan pengusaha,” kata Arif Adi Putro, juru bicara Koalisi dari Indonesia Parliamentary Center, Jumat, 15 Agustus 2025.

Jejak Kolonial dalam UU Kehutanan

Koalisi menilai UU Kehutanan masih mewarisi pola hukum kolonial yang keliru menafsirkan Hak Menguasai Negara (HMN). Rendi Oman Gara dari Perkumpulan HuMa menyebut negara bertindak seperti super landlord, pewaris asas domein verklaring era Belanda, yang mengklaim tanah tanpa bukti eigendom sebagai milik negara.

“Penjajahan modern tampak ketika rakyat dilarang hidup di kawasan hutan. Padahal Pasal 33 UUD 1945 menegaskan HMN hanyalah mandat rakyat. Hak bangsa tidak boleh dikalahkan oleh negara,” ujarnya.

Koalisi masyarakat sipil usai mengikuti RDPU di Komisi IV DPR-RI, Juli 2025 terkait Perubahan UU Kehutanan,  Foto : Ist

Eksklusi Rakyat, Ekspansi Korporasi

Menurut Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), UU Kehutanan menyimpang dari mandat Undang-Undang Pokok Agraria 1960 yang menempatkan negara sebagai pengatur, bukan pemilik. “Selama 26 tahun, UU Kehutanan gagal memerdekakan rakyat. Negara justru mengobral izin konsesi besar kepada korporasi, sementara rakyat tersingkir dari sumber kehidupannya,” kata Dewi.

Tsabit Khairul Auni dari Forest Watch Indonesia (FWI) menambahkan, 65,26 persen daratan dan perairan Indonesia kini diklaim sebagai kawasan hutan negara. Proses penunjukan dan penetapan berlangsung tanpa keterbukaan, sementara deforestasi rata-rata mencapai 2,01 juta hektare per tahun dalam periode 2017–2023. “Tata kelola hutan jelas gagal memerdekakan rakyat,” tegasnya.

Krisis Ekologis dan Hak Konstitusional

Data MADANI Berkelanjutan mencatat, sepanjang 2024 hutan yang hilang mencapai 216 ribu hektare, sementara kebakaran hutan-lahan membakar 115 ribu hektare, termasuk gambut. “Rakyat kehilangan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dijamin konstitusi,” ujar Sadam Afian Richwanudin, peneliti MADANI.

Nora Hidayati dari HuMa menilai lemahnya fungsi pengawasan (toezichthoudensdaad) dalam UU Kehutanan membuat rakyat kehilangan perlindungan. “Fungsi hutan seharusnya sebagai penopang kehidupan, bukan sekadar objek eksploitasi,” katanya.

Tuntutan Revisi Paradigmatik

Koalisi menegaskan, revisi UU Kehutanan harus dilakukan secara transparan, partisipatif, dan berorientasi pada keadilan agraria-ekologis. UU baru perlu mengakui hak masyarakat adat, komunitas lokal, petani, buruh tani, nelayan, hingga perempuan yang selama ini tersingkir dari akses terhadap hutan.

“Bagi rakyat, kemerdekaan sejati berarti terbebas dari konflik agraria, kriminalisasi, kerusakan lingkungan, dan penghisapan negara maupun swasta atas tanah. Karena itu, UU Kehutanan harus dirombak total,” tegas Koalisi.

Penulis : Redaksi

 

error: Content is protected !!