OLeh : Faisal Marasabessy (Wakil Ketua KNPI Maluku)
titastory, Ambon – Pernahkah elite Maluku membayangkan apa yang akan terjadi jika Republik Indonesia bubar? Pertanyaan ini mungkin terdengar tabu, tapi kenyataan politik dalam sejarah mengingatkan kita bahwa tidak ada negara yang abadi. Uni Soviet, Yugoslavia, bahkan kerajaan-kerajaan besar di Nusantara pernah runtuh.
Presiden Prabowo Subianto, sebelum terpilih, juga sempat memperingatkan Indonesia bisa bubar pada 2030.
Tidak seperti Papua yang bertumpu pada daratan luas dengan ikatan wilayah adat, Maluku adalah sebuah daerah kepulauan tersebar ribuan pulau dengan identitas agama, adat, dan etnis yang berlapis. Tipologi itu yang membuat Maluku sulit disatukan jika Republik Indonesia Bubar (Kita tidak berharap demikian dalam waktu dekat).
Berbeda dengan Papua, saat ini Papua telah mempersiapkan dengan memantapkan wilayah adat, pemerintahan adat, dan rakyat adat Papua untuk menjadi sebuah negara berdaulat di atas kontinental papua, jika suatu saat Indonesia tidak menjadi sebuah negara bangsa lagi.
Jika Indonesia bubar, format paling masuk akal bagi Maluku adalah konfederasi. Pulau-pulau besar. Ambon, Seram, Buru, Kei, Tanimbar, Aru, Banda. Diikat oleh persekutuan politik bersama. Model ini mirip federasi di Pasifik atau Karibia. Bukan negara sentralistik seperti sekarang, karena pusat hanya akan memicu resistensi.
Narasi RMS hampir pasti hidup kembali. Tapi RMS saja tak relevan untuk menjawab kompleksitas masalah di Maluku hari ini. Diperlukan fondasi baru: “Negara Kepulauan Maluku”. Sebuah identitas politik yang melampaui sekat pro-RMS atau pro-Indonesia, dan meneguhkan sejarah Maluku sebagai bangsa maritim.
Risiko Perang Saudara
Konflik Ambon 1999–2002 menjadi catatan getir dalam ingatan kolektif kita. Jika tidak ada kontrak sosial baru, Maluku akan kembali jadi medan pertumpahan darah. Karena itu, sejak dini harus ada Perjanjian Maluku Baru: kesepakatan lintas agama, adat, dan komunitas yang menjamin perdamaian. Pilar utamanya bukan elit politik, melainkan lembaga adat, gereja, masjid, dan komunitas warga.
Maluku memiliki kekayaan besar: laut, perikanan, gas Masela, rempah, hingga nikel. Pertanyaannya: apakah sanggup dikelola sendiri? Tambang yang belum beroperasi saja masih terus mengundang konflik, tanpa kemandirian ekonomi dan SDM, Maluku hanya akan jadi rebutan asing.
Jika Indonesia bubar, Maluku otomatis masuk radar negara-negara besar: Australia, Amerika, hingga Tiongkok. Pertahanan tak bisa mengandalkan daratan. Strateginya: milisi kepulauan, angkatan laut sederhana, dan security sistem dari rakyat berbasis desa pantai.
Papua sudah membangun jaringan diplomasi internasional sejak lama. Maluku? Nyaris kosong. Tanpa elite diplomasi, Maluku hanya akan jadi pion di papan catur geopolitik. Maka perlu disiapkan diplomat-diplomat muda yang bisa berbicara di PBB, ASEAN, hingga Uni Eropa. Tanpa itu, Maluku hanya akan digiring dalam orbit kekuatan asing atau lagi-lagi kembali pada dalam dogma lama (RMS).
Jika Indonesia bubar, Maluku menghadapi dua pilihan. Pertama, memilih bersatu sebagai bangsa kepulauan yang berdaulat, atau yang kedua, terpecah jadi pulau-pulau kecil yang dikuasai asing dan oligarki.
Sejarah tidak pernah menunggu. Jika republik ini benar-benar bubar, pertanyaan yang tersisa hanya satu: apakah Maluku siap menjadi bangsa, atau menjadi wilayah rebutan?
Pertanyaan ini harus dipikirkan oleh pemerintah provinsi, para pengambil kebijakan, Profesor dan para intelektual Maluku. Jika suatu saat Indonesia runtuh? Sekali lagi Maluku ada ribuan pulau, berbeda dengan Papua tetapi yang lebih siap untuk menghindari perpecahan internal adalah Papua.
Apa konsep dan format ideal bagi Maluku jika Indonesia bubar?
(***)