Mahasiswa Timor Leste Serukan Referendum Papua, Desak PBB Tinjau Perjanjian New York

16/08/2025
Mahasiswa Timur Leste, Foto : Ist

titastory, Dili — Mahasiswa Universitas Nasional Timor Lorosa’e (UNTL) menyuarakan solidaritas untuk Papua pada peringatan 63 tahun Perjanjian New York, 15 Agustus 2025. Dalam pernyataan sikap, mereka menilai perjanjian yang diteken Belanda dan Indonesia itu melahirkan penderitaan panjang bagi rakyat Papua.

“Sejak New York Agreement 1962 hingga Pepera 1969, bangsa Papua kehilangan hak politiknya. Papua menjadi korban operasi militer, eksploitasi sumber daya, dan marginalisasi di tanah sendiri,” kata juru bicara UNTL-Solidaritas untuk Papua Merdeka, Melquianos Lopes, dikutip dari laman berita online westpapuanews.org, di Kampus UNTL, Dili, 15 Agustus 2025.

Mahasiswa Timur Leste yang membentang bendera bintang Kerjora. Foto : Ist

Mahasiswa menilai, Perjanjian New York yang difasilitasi Amerika Serikat hanya menguntungkan kepentingan geopolitik dan ekonomi, tanpa mempertimbangkan hak menentukan nasib sendiri bangsa Papua. Lopes menyebut pelaksanaan Pepera 1969 cacat hukum karena tidak dijalankan secara demokratis sebagaimana mandat PBB.

Dalam pernyataannya, UNTL mendesak Belanda bertanggung jawab atas pengakuan de facto kemerdekaan Papua pada 1 Desember 1961. Mereka juga meminta Indonesia menghentikan operasi militer di Papua dan mencari solusi damai. “Pemerintah Indonesia harus membuka jalan referendum yang demokratis dan terawasi PBB,” kata Lopes.

Mahasiswa UNTL juga mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa meninjau ulang keabsahan Pepera 1969. “Selama 63 tahun rakyat Papua masih menolak hasil Pepera dan tetap mengklaim 1 Desember 1961 sebagai hari kemerdekaan,” ujarnya.

Menurut mereka, kesepakatan yang disahkan PBB untuk menyelesaikan sengketa Belanda–Indonesia justru mengabaikan mandat Piagam PBB yang menjamin hak menentukan nasib sendiri bagi wilayah jajahan. Dampaknya, sejak administrasi Papua diserahkan ke Indonesia pada 1963, pelanggaran HAM, operasi militer, serta eksploitasi sumber daya alam terus berlangsung.

Dalam pernyataannya, mahasiswa UNTL menyampaikan tujuh poin sikap:

Mendesak Pemerintah Belanda bertanggung jawab atas hak politik Papua yang dideklarasikan pada 1 Desember 1961.

Menuntut Indonesia bertanggung jawab atas operasi militer Trikora 1961 yang mencederai hak politik Papua sesuai mandat Piagam PBB.

Meminta Indonesia menghentikan operasi militer di Papua dan mencari solusi damai.

Mendesak Indonesia, Belanda, dan PBB meninjau kembali New York Agreement 1962 karena rakyat Papua menolak hasil PEPERA 1969.

Menyatakan PEPERA 1969 cacat hukum dan menolak klaim kedaulatan Indonesia di Papua berdasarkan Resolusi PBB 2504.

Mendesak peninjauan ulang PEPERA oleh Indonesia, Belanda, dan PBB karena tidak adil dan tidak demokratis.

Menuntut referendum Papua yang demokratis dengan pengawasan PBB untuk mengakhiri konflik 63 tahun.

“Selama 63 tahun rakyat Papua menjadi korban kebrutalan militer dan eksploitasi kapitalis. Satu-satunya jalan keluar adalah referendum yang diawasi PBB,” ujar Lopes.

Pernyataan itu ditutup dengan seruan solidaritas dan salam kemerdekaan Negara Republik Timor Leste: “Hidup rakyat Papua! Aluta continua.”

Penulis : Redaksi
error: Content is protected !!