Eksploitasi Buruh Marak di UPI Aru, Disnakertrans Dinilai Lemah

07/08/2025
Aktivitas di salah satu pabrik pengeloaan ikan di Kabupaten Kepulauan Aru, Foto : Ist

titastory.id, Kepulauan Aru — Dugaan eksploitasi buruh di sejumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, mencuat. Serikat Pekerja Persaudaraan Pekerja Kepulauan Aru (SP-PPKA17) menyebut praktik tersebut sebagai bentuk eksploitasi terstruktur yang melanggar hak-hak pekerja.

Ketua SP-PPKA17, Johan Galanggoga, mengungkapkan bahwa pelanggaran hak buruh di sektor pengolahan ikan telah berlangsung lama namun tertutup karena tekanan terhadap para pekerja. “Banyak pekerja tidak berani bersuara. Bahkan pembentukan serikat pun dibatasi,” kata Johan kepada titastory.id, Kamis, 7 Agustus 2025.

Ia menuding perusahaan menggunakan sikap arogansi dan ancaman untuk membungkam pekerja. “Pekerja dieksploitasi tanpa mereka sadari. Ketika mempertanyakan hak, mereka malah ditekan,” ujarnya.

Johan menegaskan bahwa jika perusahaan tidak mampu memenuhi hak-hak dasar pekerja, sebaiknya kegiatan usahanya dihentikan. “Kalau tidak bisa bayar sesuai aturan, lebih baik tutup usaha daripada terus mengeksploitasi,” tegasnya.

Upah di Bawah UMP dan Minimnya Pengawasan

Menanggapi laporan ini, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Kepulauan Aru, Dody Morwarin, membenarkan bahwa sejumlah UPI belum membayar upah sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP) Maluku. Ia berdalih, kondisi tersebut terjadi karena buruh sangat membutuhkan pekerjaan sehingga menerima upah rendah tanpa protes.

“Pekerja tidak mempertimbangkan standar gaji saat direkrut. Mereka langsung terima pekerjaan demi memenuhi kebutuhan hidup,” ujarnya.

Dody berharap para pemberi kerja tetap taat pada aturan ketenagakerjaan, dan mendorong buruh untuk melapor jika mengalami pelanggaran hak. Namun, respons ini dinilai tidak cukup oleh SP-PPKA17 yang menilai lemahnya pengawasan membuat pelanggaran terus terjadi.

Pelanggaran Hak Perempuan Pekerja

Johan juga menyoroti pelanggaran terhadap buruh perempuan. Ia menyebut ada pekerja perempuan yang dipaksa lembur dan menjalani lebih dari satu tugas tanpa kompensasi layak. “Ada yang kerja lebih dari jam kerja normal, bahkan harus mengerjakan dua-tiga jenis pekerjaan sekaligus,” ungkapnya.

Menurutnya, semua pelanggaran ini terjadi akibat longgarnya pengawasan dan sikap pasif pemerintah daerah. “Disnakertrans tidak boleh loyo. Tegakkan aturan ketenagakerjaan, jangan pakai hati. Kalau tidak, yang jadi korban terus-menerus adalah para buruh,” katanya.

SP-PPKA17 berencana melaporkan temuan mereka ke instansi pengawas ketenagakerjaan tingkat provinsi dan nasional, termasuk Komnas HAM, sebagai bentuk upaya advokasi lebih lanjut terhadap hak pekerja.

Penulis : Johan Djamamona
error: Content is protected !!