titastory, Jakarta – Menyambut Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-30 (COP 30) yang akan digelar di Belem, Brasil, Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) menyelenggarakan Workshop Jurnalisbertajuk “Amplifying COP 30 to Indonesia: Memperkuat Dampak Peliputan COP 30”.
Acara ini diselenggarakan secara hybrid pada Sabtu, 2 Agustus 2025, menghadirkan jurnalis dari berbagai daerah untuk memperkuat pemahaman terhadap proses negosiasi iklim global dan memperluas jangkauan narasi kebijakan iklim Indonesia yang akuntabel, berbasis data, dan partisipatif.

Wukir Amintari Rukmi, Koordinator Pokja Perundingan Perubahan Iklim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menekankan pentingnya COP 30 sebagai titik balik. Menurutnya, ini adalah waktu yang krusial untuk meningkatkan ambisi mitigasi, memperkuat indikator adaptasi, dan memastikan transisi energi yang berkeadilan.
“Indonesia mendukung penuh prinsip-prinsip multilateral dalam Perjanjian Paris dan siap mendorong operasionalisasi Belem Road Map untuk pendanaan iklim yang adil dan inklusif,” jelas Wukir.
Ia juga menggarisbawahi perlunya pengarusutamaan gender dan partisipasi masyarakat dalam gerakan kolektif global seperti Mutirão Global yang dipimpin oleh Brasil sebagai tuan rumah.
Kuki Soedjackmoen, Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), menggarisbawahi perlunya pendekatan ilmiah yang cermat. Ia menyoroti potensi pemanasan global dari gas rumah kaca seperti metana (CH₄) dan dinitrogen oksida (N₂O) yang lebih besar dari karbon dioksida (CO₂), namun seringkali luput dari perhatian dalam kebijakan publik.
“Kita butuh kerangka penyetaraan emisi yang lebih adaptif dan berbasis sains. Ini bukan soal angka di kertas, tapi soal dampak nyata terhadap bumi,” katanya.
Kuki juga memperkenalkan potensi teknologi cairan penyerap karbon yang dapat diterapkan di tingkat lokal melalui BUMD, sebagai solusi dekarbonisasi yang lebih terjangkau dan relevan.
Krisis Iklim Bukan Sekadar Isu Lingkungan
Bagi Syahrul Fitra dari Greenpeace Indonesia, krisis iklim bukan hanya soal suhu atau cuaca ekstrem, melainkan krisis multidimensi yang melibatkan ketimpangan sosial dan ketidakadilan struktural.
Ia mengkritik proyek-proyek seperti food estate dan ekspansi industri ekstraktif di Papua dan Kalimantan yang berisiko memperparah deforestasi dan menggerus komitmen Indonesia untuk menghentikan deforestasi pada 2030.
“Deforestasi bukan bencana alam, tapi akibat dari perencanaan yang keliru. Kita tidak bisa lagi menukar hutan dengan pertumbuhan ekonomi jangka pendek,” ujarnya.
Masyarakat Adat dan Keanekaragaman Hayati
Isu biodiversitas juga mengemuka dalam diskusi ini. Cindy Julianti dari Working Group ICCA Indonesia menekankan pentingnya pengakuan terhadap peran masyarakat adat dalam menjaga kawasan konservasi dan warisan ekologis.
“Perubahan iklim dan keanekaragaman hayati saling terkait. Kita tidak bisa bicara soal transisi energi atau adaptasi tanpa melibatkan mereka yang hidup dan menjaga ekosistem itu secara turun-temurun,” katanya.
Cindy menekankan pentingnya insentif ekonomi berbasis nilai ekosistem dan pembiayaan karbon untuk mendukung pengelolaan lingkungan berkelanjutan oleh komunitas lokal.

Peran Jurnalis sebagai Pengawal Proses Iklim
Ketua SIEJ, Joni Aswira Putra, menegaskan peran sentral jurnalis dalam membangun narasi iklim yang inklusif, akurat, dan membumi.
“Ajang COP 30 harus menjadi lebih dari sekadar seremoni. Ini momentum strategis bagi Indonesia untuk meninjau ulang komitmen iklim dan memastikan suara masyarakat sipil—termasuk komunitas adat—terdengar dalam forum internasional,” ujarnya.
SIEJ mendorong jurnalis untuk memperluas peliputan perubahan iklim yang tidak hanya fokus pada acara puncak COP, tetapi juga menelusuri kebijakan nasional dan dampaknya di lapangan.
Dengan semangat kolaboratif Mutirão Global, Indonesia diharapkan tidak hanya hadir sebagai peserta, tetapi sebagai penggerak transformasi. Dengan kebijakan yang berbasis ilmu pengetahuan, partisipasi publik yang nyata, dan keberpihakan terhadap keadilan lingkungan, Indonesia bisa memperkuat posisinya sebagai aktor penting dalam tatanan iklim global yang lebih adil dan berkelanjutan.
Tentang SIEJ:
Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) adalah organisasi profesi yang menghimpun jurnalis yang peduli terhadap isu lingkungan. SIEJ aktif meningkatkan kapasitas jurnalis dan mendorong liputan bermutu tinggi terkait lingkungan dan keberlanjutan di Indonesia.
Penulis: Edison Waas