Pemuda Maybrat Tolak Pos Brimob: Takut Papua Dijadikan Zona Darurat Militer

02/08/2025
Ilustrasi

titastory, Maybrat – Rencana Pemerintah Kabupaten Maybrat untuk menempatkan satu Pos Brimob di Kampung Fategomi, Distrik Aitinyo Utara, menuai kecaman. Pemuda dan aktivis lokal menyebut kebijakan ini berpotensi menciptakan ketakutan baru, memperparah trauma lama, dan mengukuhkan militerisasi wilayah sipil Papua Barat Daya.

Kebijakan ini mencuat setelah Bupati Maybrat Karel Murafer bersama Komandan Brimob melakukan survei lapangan ke bekas terminal di Kampung Fategomi pada 23 Juli 2025. Lokasi ini dipertimbangkan menjadi markas baru pasukan Brigade Mobil di jantung Aitinyo. Namun rencana ini ditolak oleh warga.

“Ini bukan kebutuhan rakyat. Ini proyek ketakutan. Kami tidak butuh pos tempur di tanah kami,” kata Orlando Iek, seorang pemuda Maybrat, saat ditemui titastory, Sabtu, 2 Agustus 2025.

Sejumlah warga Maybrat yang mengungsi di hutan akibat penyisiran oleh aparat gabungan, pada 2020. Foto: Johan/titastory.

Terlalu Banyak Pos Militer

Menurut Iek, saat ini saja Distrik Aitinyo Raya sudah dibanjiri militer. Ada 4 Pos TNI dan 1 Polsek, tersebar di wilayah yang terdiri dari lima distrik. Beberapa pos bahkan menempati fasilitas publik, seperti gereja di Kampung Susmuk yang dijadikan markas Koramil.

“Distrik ini sudah penuh dengan tentara. Sekarang mau ditambah lagi Brimob? Ini bukan daerah perang!” ujarnya.

Iek menilai penempatan pasukan bersenjata di tengah masyarakat sipil hanya akan memicu konflik horizontal dan pelanggaran HAM. “Brimob itu pasukan tempur. Mereka tidak seharusnya ditempatkan di tengah kehidupan warga sipil,” tegasnya.

Hantu Trauma 2021 Masih Membayangi

Penolakan ini tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang konflik dan trauma yang belum pulih. Pada 2021, wilayah Aifat-Maybrat mengalami konflik bersenjata antara TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) dan aparat keamanan. Ratusan rumah warga dibakar, ribuan orang mengungsi.

Menurut data SKPKC Fransiskan Papua, lebih dari 6.000 warga sipil asal Aifat masih bertahan di pengungsian di Sorong, Kota Sorong, dan Tambrauw.

“Mereka tidak berani kembali ke kampung, karena masih ada militer di sana,” kata Pastor Heribertus Lobya dalam laporan yang dikutip suarapapua.com.

Iek khawatir pembangunan Pos Brimob di Fategomi akan memperpanjang deret pengungsi. Bukannya membangun perdamaian, justru menciptakan iklim represi terhadap Orang Asli Papua (OAP).

Militerisasi Bukan Solusi

Iek menilai pendekatan keamanan yang terus digencarkan negara adalah bentuk kegagalan dalam memahami akar konflik Papua. Alih-alih dialog dan pendekatan budaya, negara memilih jalan keras.

“Militer dijadikan alat negara untuk membungkam OAP. Pos Brimob bukan solusi. Itu justru memperburuk situasi dan membuat masyarakat makin takut untuk bersuara,” katanya.

Dia juga menuding militerisasi sebagai kedok untuk membuka ruang bagi kepentingan bisnis ilegal di wilayah Maybrat. “Terlalu banyak pasukan bisa jadi pelindung bagi aktivitas tak resmi,” cetusnya.

Pemerintah Harus Evaluasi Pendekatan Keamanan

Pemuda Maybrat kini mendesak Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat untuk menghentikan proyek militerisasi di Tanah Papua. Penempatan Pos Brimob di Fategomi harus segera dibatalkan, dan aparat keamanan ditarik dari wilayah-wilayah sipil.

“Jika negara ingin damai di Papua, maka berhentilah membangun pos-pos kekerasan. Bangunlah dialog dan kepercayaan,” pungkas Iek.

Penulis: Johan Djamanmona

 

 

error: Content is protected !!