titastory.id, Ambon – “Sei hale hatu, hatu lisa pei. Sei lesi sou, sou lisa ei.”
Sapa bale batu, batu gepe dia. Sapa langgar sumpah, sumpah makang dia.
Kata-kata sakral itu meluncur dari bibir Wali Kota Ambon, Bodewin Wattimena, dalam momen bersejarah: pelantikan Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) Amahusu, Mesac Morits Silooy, dengan gelar adat Upulatu Wakan, Selasa pagi, 29 Juli 2025.
Kalimat warisan leluhur itu mengandung pesan puritan yang mendalam: kesetiaan pada adat, persaudaraan, dan konsekuensi atas pengingkaran. Di hadapan rakyat, Saniri Negeri, dan saudara pela-gandong dari negeri tetangga, Wali Kota mengingatkan bahwa nilai-nilai adat bukan hanya simbol, tapi menjadi dasar relasi sosial dan kepemimpinan.

“Puritan, menuntut kesalehan. Upulatu harus menjadi bapa untuk masyarakatnya. Perbedaan yang menimbulkan pro dan kontra di Negeri Amahusu harus diselesaikan dengan cara merangkul, jangan ada pilih kasih agar Amahusu bisa lebih baik dari hari ini,” kata Wattimena.
Negeri Amahusu akhirnya kembali memiliki raja definitif setelah sepuluh tahun kekosongan kepemimpinan adat. Sejak terakhir kali diisi oleh pemimpin tanpa gelar, kini sosok “bapa negeri” resmi hadir. Pelantikan Silooy menjadi tonggak sejarah baru, mengakhiri kekosongan dan memulai masa bakti delapan tahun—hingga 29 Juli 2033—berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Ambon Nomor 2486 Tahun 2025.
Pela dan Gandong di Tanah Harmalakabessy
Sebelum fajar, prosesi adat dimulai. Para tua-tua adat dan Saniri Negeri memainkan peran dalam rangkaian ritus pengangkatan. Diiringi nyanyian “sopo-sopo” dalam bahasa tanah dan suara tifa yang bersaing dengan kokok ayam serta hentakan pasukan harmeteng—penari cakalele—calon raja dijemput dari rumahnya menuju rumah adat.
Langit timur dari puncak Gunung Nona mulai menyibak cahaya fajar, seolah merestui jalannya peristiwa. Sang Upulatu mengenakan selendang Haramlakabessy dari Amahusu dan Silawanabessy dari Hatalai—dua negeri pela darah yang menjadi sandaran legitimasi leluhur.
Gandong dari Negeri Hualoy, Tial, hingga Banda Eli di Kepulauan Kei turut hadir menyaksikan pengukuhan pemimpin baru. Sementara gandong dari Negeri Laha mengiringi sang raja menuju gereja untuk mengikuti kebaktian syukur melalui tarian cakalele.
“Negeri Amahusu memiliki saudara gandong yaitu Negeri Hualoy, Tial, Laha, dan juga dari kawasan Banda Eli, Kepulauan Kei. Hanya ada satu saudara pela yaitu Negeri Hatalai,” jelas Roby Silooy, tokoh adat Negeri Amahusu.
Dalam masyarakat Maluku, ikatan pela dan gandong bukan hanya soal darah dan sumpah, tapi komitmen terhadap kehidupan bersama yang berkeadaban. Dalam iklim politik dan sosial yang sering goyah oleh perbedaan, pesan adat hari itu hadir sebagai pengingat: bahwa di atas segalanya, ada saudara, leluhur, dan sumpah yang harus dijaga.
Penulis: Edison Waas