Sukun Tak Sekadar Digoreng: Menakar Peluang Bisnis dari Tepung Buah Roti

29/07/2025
Diacara pelatihan pengelolaan buah sukun. Foto : Christin/titastory

titastory.id, Ambon – Dalam perjalanan dari Bandara Pattimura ke pusat Kota Ambon, deretan pohon sukun berdiri menjulang di pekarangan rumah warga. Buahnya bergelantungan—tak jarang dibiarkan jatuh membusuk begitu saja. Namun, bagi sebagian orang yang jeli, buah sukun bukan sekadar makanan tradisional, melainkan ladang emas yang belum digarap serius.

Disebut breadfruit atau buah roti di kalangan Eropa, sukun (Artocarpus altilis) memiliki daging empuk, tak berbiji, dan kaya nutrisi. Kandungan karbohidrat, serat, serta vitamin C menjadikannya bahan pangan bergizi yang bisa membantu mencegah anemia, menurunkan kadar kolesterol, hingga menjaga kesehatan kulit.

Namun nilai sejatinya terletak pada peluang pengolahannya. Salah satunya adalah dengan menjadikan sukun sebagai tepung alternatif yang bernilai jual tinggi.

“Saya melihat potensi besar. Begitu tiba di Ambon dan melintasi jalan utama, saya langsung sadar: pohon sukun tumbuh subur, artinya konsumsi masyarakat cukup tinggi. Tapi pengolahan pascapanennya masih sangat terbatas,” ujar Dr. Nila Kusumawati, periset dari Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan BRIN Yogyakarta, dalam pelatihan pengolahan tepung dan aneka olahan sukun di Ambon, Senin, 28 Juli 2025.

Pose peserta pelatihan yang digagas BRIN. Foto : Christin/titastory

Menurut Nila, buah sukun yang selama ini hanya digoreng atau direbus, bisa diolah menjadi berbagai produk kreatif—seperti tepung, keripik, brownies, atau bahkan bahan baku kue kering dan roti. Dengan pelatihan yang tepat, ibu-ibu rumah tangga bisa mengubah bahan baku gratis dari halaman rumah menjadi komoditas ekonomi.

“Kita tidak hanya ajarkan bikin kolak atau gorengan. Tapi juga cara membuat keripik sukun sambal balado, atau produk siap jual lain yang punya daya saing,” tambah Nila.

Dari Halaman ke Pasar

Kegiatan ini difasilitasi oleh Komisi VII DPR-RI dan dibuka langsung oleh anggotanya, Mercy Barends. Dalam sambutannya, Mercy menekankan pentingnya pemberdayaan ekonomi keluarga melalui potensi lokal.

“Alam sudah menyediakan bahan mentah. Tinggal bagaimana ibu rumah tangga bisa mengolahnya dengan inovasi. Buah sukun yang dulu hanya untuk konsumsi rumah, kini bisa jadi jalan keluar untuk menopang ketahanan pangan dan ekonomi keluarga,” ujar Mercy.

Bagi peserta pelatihan, program ini bukan sekadar teori. Jacklien Pesiwarissa, ibu rumah tangga asal Warawarin, mengaku baru menyadari potensi sukun usai mengikuti sesi pelatihan.

“Sebelumnya saya kira sukun cuma untuk gorengan saja. Tapi ternyata bisa jadi tepung dan keripik yang bisa dijual. Ini sangat membantu kami untuk memulai usaha kecil,” ungkapnya.

Dengan ketersediaan bahan baku melimpah, sukun di Maluku berpotensi menjadi komoditas baru berbasis ekonomi kreatif. Tak hanya mengurangi pemborosan hasil panen, tetapi juga menciptakan peluang usaha mikro yang mengakar di komunitas.

Jika digarap dengan serius, bukan tidak mungkin Ambon kelak dikenal bukan hanya sebagai Kota Musik Dunia, tetapi juga kota sukun yang berdaya secara ekonomi.

Penulis: Christin Pesiwarissa

 

error: Content is protected !!