Sopi Perlu Diatur, Bukan Dibiarkan Liar

28/07/2025
Oleh: Ikhsan Tualeka

titastory, Jakarta – Perdebatan soal sopi kembali mencuat, dipicu pernyataan Wakil Gubernur Maluku AV yang—jika ditelaah dari sisi komunikasi publik—bermuatan logika yang absurd dan tidak runut, serta menimbulkan kegaduhan. Gaya komunikasi pejabat semacam ini, tentu saja perlu dievaluasi secara serius.

Namun lebih dari sekadar polemik, ada hikmah di balik pernyataan tersebut. Ia menjadi pemantik diskusi lebih substantif tentang hal yang terus-menerus dihindari: status hukum sopi di negeri raja-raja ini.

Sopi: Kenyataan Sosial yang Diabaikan

Sopi adalah kenyataan sosial. Ia bukan fenomena musiman atau sekadar konsumsi liar, tapi telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Maluku dan wilayah Indonesia Timur lainnya—digunakan dalam ritus adat, pertemuan keluarga, hingga perayaan panen. Namun ironisnya, sopi masih berada di wilayah abu-abu hukum. Dikonsumsi secara luas, tapi belum diatur secara resmi. Akibatnya, yang tumbuh justru pasar gelap, penyalahgunaan, dan risiko kesehatan.

Ikhsan Tualeka

Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan moral. Kita harus membedakan dengan jernih antara legal dan ilegal dalam hukum negara, serta halal dan haram dalam norma agama. Ketika dua ranah ini dicampuradukkan, yang lahir bukanlah keadilan, tapi kebingungan dan potensi diskriminasi.

Contohnya jelas. Daging babi adalah legal di Indonesia, namun tetap haram bagi umat Islam. Negara tidak melarang umat Muslim menjauhinya, dan tidak memaksa non-Muslim untuk tidak mengonsumsinya. Prinsip keadilan dalam negara majemuk menuntut hal serupa berlaku pada sopi: bisa legal, namun tetap haram bagi yang meyakininya.

Legalisasi Bukan Ajakan Konsumsi

Perlu ditegaskan: legalisasi sopi bukanlah ajakan untuk meminum alkohol. Ini adalah langkah penertiban. Dengan regulasi yang jelas, negara bisa mengatur produksi, distribusi, dan konsumsi sopi—termasuk:

  • Melarang penjualan kepada anak-anak
  • Menetapkan standar kualitas agar tidak membahayakan kesehatan
  • Melindungi komunitas yang secara agama menolak alkohol
  • Memberikan sanksi bagi pelanggaran aturan

Tanpa pengaturan, yang terjadi justru pembiaran. Sopi oplosan beredar luas tanpa kontrol dan tanpa tanggung jawab. Kita bukan sedang berbicara soal pembebasan, melainkan pengendalian terhadap sesuatu yang selama ini dibiarkan liar dan mematikan.

Dimensi Ekonomi: Dari Budaya Lokal ke Komoditas Daerah

Selain aspek hukum dan moral, sopi juga menyimpan potensi ekonomi yang belum digarap. Alkohol dari sopi dapat dimurnikan menjadi bahan dasar untuk produk medis dan kesehatan—seperti antiseptik, hand sanitizer, disinfektan, hingga bahan baku farmasi.

Jika dikelola secara benar, sopi bisa menjadi komoditas ekspor dan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Produk turunannya bisa dikembangkan oleh UMKM lokal, menciptakan lapangan kerja, serta memberikan legalitas dan perlindungan hukum bagi para perajin dan pelaku usahanya.

Negara telah memberi payung hukum bagi ganja untuk kebutuhan medis. Aset kripto pun sudah diatur. Industri rokok—yang jelas berisiko kesehatan—dikenai cukai dan diberi ruang legal. Lalu mengapa sopi, yang sudah menjadi bagian dari identitas kultural masyarakat tertentu, justru dibiarkan dalam kekosongan hukum?

Negara Tak Boleh Memaksakan Iman

Dalam negara yang menjunjung tinggi kebhinekaan, hukum tidak boleh menjadi alat pemaksaan iman. Fungsi negara adalah menjaga keberagaman, bukan menyeragamkan keyakinan. Legalisasi sopi tidak menghapus nilai agama; justru memperkuat batasan antar ranah: bahwa yang haram tetap haram bagi yang meyakini, tapi tidak otomatis menjadi ilegal di ruang negara.

Dengan regulasi, nilai agama bisa ditegakkan tanpa menyakiti kepercayaan orang lain. Komunitas yang menolak sopi bisa tetap menjauhkan diri. Sementara komunitas yang menganggapnya bagian dari budaya bisa mendapat kepastian hukum dan perlindungan negara.

Aparat Tak Boleh Bertindak Semena-mena

Dalam praktiknya, aparat kerap menyita dan menumpahkan sopi hasil produksi warga. Ini tidak hanya menunjukkan pendekatan represif yang keliru, tapi juga menyakiti rakyat kecil yang menggantungkan hidup dari produksi sopi. Banyak anak-anak sekolah yang dibiayai dari hasil jual sopi. Bukankah lebih baik negara mengaturnya daripada menghancurkan satu-satunya sumber nafkah masyarakat?

Jika sudah diatur, negara bisa menetapkan zona khusus untuk produksi dan penjualannya. Waktu, lokasi, dan distribusinya bisa diatur agar tidak sembarangan. Ini jauh lebih bijak dibanding membiarkannya tetap berada dalam ruang gelap yang rentan penyimpangan dan kriminalisasi.

Akhiri Kepura-puraan, Mulai Gunakan Akal Sehat

Sudah saatnya kita bersikap dewasa dan rasional. Jangan terus mempolitisasi sopi dalam ruang sempit moralitas sepihak. Legalisasi sopi adalah bentuk penghormatan pada realitas sosial, bukan perendahan terhadap nilai agama. Kita bisa hidup berdampingan dalam keberagaman, jika negara berani mengatur, bukan terus menutup mata.

Sopi yang diatur bisa memberi manfaat: keselamatan konsumen, perlindungan budaya lokal, hingga peningkatan ekonomi rakyat. Sementara sopi yang terus dibiarkan liar hanya akan memperparah masalah: dari korban tewas akibat oplosan, kerugian negara karena pasar ilegal, hingga meningkatnya angka kriminalitas.

Kini tinggal kemauan politik dan keberanian moral para pengambil kebijakan: apakah akan terus membiarkan rakyat dalam kegelapan tanpa regulasi, atau memilih menyalakan cahaya hukum yang adil, berpihak pada akal sehat, dan menghormati keberagaman bangsa.

Penulis adalah  Mahasiswa Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Pegiat perubahan sosial, Direktur Maluku Crisis Center

 

error: Content is protected !!