80 Tahun Merdeka, Praktik Kolonial Masih Dipelihara: Disparitas Indonesia Timur dan Barat dalam Kemiskinan Struktural

27/07/2025
SHP (Shapefile) Area Konservasi Seluruh Indonesia. Foto: Web

titastory, Jakarta – Indonesia bersiap merayakan 80 tahun kemerdekaannya pada 17 Agustus 2025. Namun, bagi kawasan timur Indonesia, perayaan ini kembali membuka luka lama: soal janji kemerdekaan yang belum tuntas. Ketimpangan pembangunan, eksploitasi sumber daya alam, dan kemiskinan sistemik masih menjadi pemandangan sehari-hari di Papua, Maluku, hingga Nusa Tenggara.

“Sejak era kolonial, model pembangunan di timur Indonesia tidak berubah. Kita menggali, membawa pergi, dan meninggalkan kerusakan,” ujar Enggelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation, dalam diskusi daring bertajuk “Disparitas Indonesia Timur dan Barat: Kemiskinan Struktural di Kawasan Timur” yang disiarkan melalui kanal YouTube @ArchipelagoClub, Sabtu, 26 Juli 2025.

Diskusi daring bertajuk “Disparitas Indonesia Timur dan Barat: Kemiskinan Struktural di Kawasan Timur” yang disiarkan melalui kanal YouTube @ArchipelagoClub, Sabtu, 26 Juli 2025. Foto : Ist

Menurut Enggelina, praktik eksploitasi sumber daya alam di kawasan timur masih berjalan dalam kerangka kolonial. Wilayah kaya seperti Papua dan Maluku hanya menjadi ladang ekstraksi tanpa pembangunan berkelanjutan.

“Tambang itu buang sampah ke laut. Ini harus dihentikan. Hubungan antara manusia dan alam adalah dasar dari kemajuan. Jika itu putus, maka yang hilang bukan hanya lingkungan, tapi juga peradaban,” katanya tegas.

Lebih lanjut, Enggelina menyebut pendekatan pembangunan di kawasan timur terlalu seragam dan terpusat dari Jakarta. Tidak ada ruang untuk mempertimbangkan perbedaan sejarah, geografis, dan sosial budaya.

“Bukan hanya soal angka dan pertumbuhan. Ini soal penghormatan terhadap keunikan kawasan timur. Kita punya kearifan lokal, peradaban maritim, suku-suku yang hidup berdampingan dengan alam. Itu yang tidak dihargai dalam kebijakan nasional,” ujarnya.

 

Investasi Tambang, Miskin Transfer Pengetahuan

Ekonom Salamudin Daeng yang juga menjadi pembicara dalam diskusi itu menambahkan bahwa pola investasi di kawasan timur Indonesia masih mewarisi watak kolonialisme. Menurutnya, ada tiga ciri utama investasi kolonial yang terus dilanggengkan hingga saat ini.

“Pertama, penguasaan lahan dalam skala besar dengan kontrak jangka panjang. Kedua, seluruh hasil tambang hanya untuk diekspor mentah. Ketiga, semua keuntungan dibawa pergi, tidak ada transfer teknologi atau pengetahuan bagi warga lokal,” jelas Salamudin.

Dampaknya, kata Salamudin, wilayah tambang justru menjadi kantong kemiskinan ekstrem.

“Yang datang hanya menggali. Yang ditinggalkan cuma lubang dan penyakit. Tidak ada industri hilir, tidak ada pelatihan tenaga kerja lokal, tidak ada ekonomi rakyat yang tumbuh. Ini praktik yang harus diubah,” tegasnya.

Ia pun menyoroti buruknya daya serap pekerja lokal dalam industri tambang besar, seperti yang terjadi di Maluku Utara dan kawasan Weda Bay. “Bahkan pekerjanya pun didatangkan dari luar, termasuk dari Tiongkok. Padahal sudah jelas peraturannya tidak membolehkan,” katanya.

 

Ekonomi Uang Merusak Akar Masyarakat

Enggelina turut mengkritisi pendekatan fiskal yang hanya mengandalkan pengiriman dana dari pusat ke daerah. Menurutnya, itu menciptakan ketergantungan dan mematikan kreativitas ekonomi masyarakat lokal.

“Mengirim uang ke desa-desa secara terus-menerus tanpa penguatan ekonomi lokal hanya akan membuat masyarakat menunggu kiriman dari Jakarta. Ekonomi uang seperti ini justru merusak kemandirian,” katanya.

Ia menekankan pentingnya membangun roadmap pembangunan untuk Indonesia timur yang disusun sendiri berdasarkan karakter wilayah. Menurutnya, konsep satu Indonesia tidak boleh diartikan sebagai seragam Indonesia.

“Bhinneka Tunggal Ika itu bukan seragam. Justru dari keberagaman itulah kita harus membangun. Kalau terus dipaksakan seragam, ya timur akan terus miskin,” pungkasnya.

 

Menuju Keadilan Sosial dan Ekonomi yang Sejati

Enggelina dan Salamudin sepakat bahwa pemerintah perlu segera meninggalkan pendekatan kolonial dalam pembangunan dan investasi. Yang dibutuhkan saat ini bukan sekadar pertumbuhan ekonomi, tetapi transformasi sosial yang adil dan berkelanjutan.

“Kita tidak anti pertambangan. Tapi praktiknya harus berubah. Harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat sekitar, bukan hanya bagi investor,” kata Enggelina.

“Kalau kita tidak ubah cara pandang, maka selama itu pula eksploitasi akan terus diwariskan. Dan kemiskinan akan jadi warisan permanen,” tutup Salamudin Daeng.

Penulis: Edison Waas
Editor : Christ Belseran

 

error: Content is protected !!