titastory, Masohi – Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Masohi menyoroti pemasangan patok batas kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di sejumlah negeri adat di Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah. Organisasi mahasiswa ini menilai kebijakan tersebut merampas ruang hidup masyarakat adat dan berpotensi membuka jalan bagi eksploitasi tanah adat.
“Pemasangan Pal HPK secara sepihak adalah bentuk perampasan ruang hidup masyarakat adat oleh negara lewat institusinya. Ini membuka jalan bagi eksploitasi korporasi terhadap tanah-tanah adat di Tehoru,” kata Pj Ketua GMKI Masohi, Josua Ahwalam, Jumat, 10 Juli 2025.

Ahwalam menyebut sejumlah negeri yang terdampak, seperti Hatumete, Hatu, Saunulu, Yaputih, dan Piliana, tidak dilibatkan dalam proses penetapan kawasan hutan. Ia menekankan bahwa kawasan HPK—sebagaimana dimuat dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan—merupakan kawasan yang dapat dialihfungsikan untuk kepentingan non-kehutanan, seperti pertambangan dan perkebunan.
“Sebagian besar HPK di republik ini diperuntukkan untuk industri ekstraktif. Artinya, masyarakat adat di Tehoru sedang dihadapkan pada ancaman serius terhadap ruang hidup dan keberlanjutan ekologi mereka,” ujar Ahwalam.
GMKI menilai pemasangan pal HPK secara sepihak itu juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara. Oleh karena itu, kata Ahwalam, negara tidak bisa seenaknya menetapkan kawasan adat sebagai HPK tanpa persetujuan dan partisipasi masyarakat adat.
“Konstitusi kita sudah jelas. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya,” tambahnya.
Ahwalam juga menekankan bahwa pemerintah daerah, khususnya Pemkab Maluku Tengah, memiliki kewenangan untuk membuat peraturan daerah yang melindungi masyarakat adat. Hal ini, kata dia, diatur dalam Pasal 236 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta dipertegas dalam Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.
“Sudah saatnya Pemkab Maluku Tengah menetapkan perda perlindungan masyarakat hukum adat. Jangan terus berada dalam ‘mode pesawat’ alias menutup mata dan telinga terhadap persoalan masyarakat adat,” sindir Ahwalam.
GMKI Cabang Masohi, ujarnya, akan terus mengawal isu-isu masyarakat adat dan berperan sebagai mitra kritis pemerintah dalam memastikan keadilan ekologis dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
“Kami akan terus hadir sebagai gerakan intelektual yang bertanggung jawab secara moral dan konstitusional,” tutupnya.
Penulis : Redaksi