titastory, Pulau Seram — Gunung Binaiya, puncak tertinggi di Kepulauan Maluku yang menjulang di jantung Pulau Seram, kini ditutup bagi aktivitas pendakian. Penutupan ini bukan oleh otoritas pariwisata atau lembaga konservasi, melainkan oleh masyarakat adat Kanikeh yang memasang ritual sasi adat sebagai bentuk larangan sakral terhadap akses ke kawasan tersebut.
Sasi adat dilakukan pada Senin, 7 Juli 2025, dipimpin langsung oleh Kepala Adat Alfonsus Lilimau dan disaksikan Raja Kanikeh, Jorhen Lilimau, bersama masyarakat. Larangan ini dipasang di jalur pendakian yang melewati petuanan adat Kanikeh, sebagai protes terhadap pembukaan jalur baru oleh Balai Taman Nasional Manusela yang dinilai mengabaikan keberadaan masyarakat adat.

“Tidak ada komunikasi. Tidak ada izin adat. Jalur pendakian baru ini seperti memotong nadi kami,” ujar seorang tokoh masyarakat di Kanikeh yang enggan disebutkan namanya.
Dalam budaya masyarakat adat Alifuru, tanah adalah warisan spiritual dan sejarah. Hubungan mereka dengan tanah dan hutan tidak sekadar sebagai ruang hidup, tetapi juga bagian dari identitas, memori leluhur, dan sistem nilai yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Gunung Binaiya sendiri dianggap sakral dan merupakan bagian dari Tanah Nusawele yang dihormati secara turun-temurun.
Lawan Siapa Pun yang Menerobos
Postingan Bhilly Lilimau di Facebook menjadi viral setelah upacara sasi dilakukan. Salah satu komentar paling menyita perhatian datang dari akun bernama Moshe Surei:
“Sasi adat dan lawan siapa pun yang mencoba menerobos. Mau polisi ataupun TNI tetap lawan demi tanah Nusa Ina. Jangan sampai kolonialis berbuat sesuka hati, pada akhirnya anak cucu bangsa Alifuru cuma dengar carita, karena semua sudah dirampok oleh kolonialis.”
Komentar ini mencerminkan kekecewaan mendalam atas praktik konservasi yang dinilai sepihak dan tidak melibatkan pemilik sah tanah: masyarakat adat.
Konflik Jalur Pendakian dan Penegasan Hak Adat
Selama ini, jalur pendakian Gunung Binaiya secara resmi melewati utara (Wahai) dan barat (Roho). Namun, belakangan muncul jalur baru dari selatan, yakni Piliana. Jalur ini, menurut warga Kanikeh, dibuka tanpa pemberitahuan maupun persetujuan dari Raja dan Dewan Adat Kanikeh.
Dengan penutupan oleh Kanikeh, kini dua wilayah adat di sekitar kawasan Taman Nasional Manusela telah menetapkan ritual sasi. Sebelumnya, pada 25 Februari 2025, masyarakat adat Piliana lebih dahulu melakukan hal serupa sebagai bentuk penolakan terhadap pemasangan patok Hutan Produksi Konversi (HPK) oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah IX Ambon di atas tanah ulayat mereka.
“Tanah ini kami jaga sebelum republik ini ada. Jangan datang dengan peta dan pal lalu meniadakan sejarah kami,” ujar salah satu tetua adat Piliana.
Mencari Titik Temu: Konservasi Tanpa Menghapus Adat
Persoalan ini kembali menunjukkan benturan antara proyek konservasi berbasis negara dengan hak dan kearifan lokal masyarakat adat. Di banyak tempat, pembukaan jalur wisata dan konservasi kerap dilakukan tanpa konsultasi bermakna dengan komunitas adat yang telah menjaga kawasan tersebut jauh sebelum statusnya menjadi “taman nasional.”
Sasi adat menjadi bentuk penegasan: bahwa tanah ini bukan lahan kosong. Ia hidup, dihuni, dijaga, dan dihormati. Dan kini, mereka menuntut hal yang sama: penghormatan dari negara.
Penulis : Redaksi