titastory, Seram Bagian Timur — Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) kembali menuai kritik tajam. Produk hukum yang seharusnya menjadi pedoman pembangunan justru diduga menjadi alat legitimasi praktik perampasan tanah dan wilayah adat masyarakat lokal. Tuduhan ini mengemuka dalam rapat paripurna DPRD Kabupaten SBT, Februari lalu.
Ketua Komisi I DPRD SBT, Abdul Azis Yanlua, menilai, RTRW yang disusun oleh pemerintah daerah tidak berpihak pada masyarakat adat. “Kita sendiri yang melegitimasi itu. Suatu saat, kita akan meninggalkan cerita buruk untuk generasi berikutnya,” kata Yanlua dalam sidang terbuka.
Menurutnya, dokumen RTRW adalah rujukan fundamental dalam membangun perencanaan kawasan selama 20 tahun. Namun dalam proses penyusunannya, Yanlua menilai pemerintah daerah mengabaikan norma hukum tertinggi dan tidak melibatkan referensi yang memadai, termasuk dalam konteks Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD).
“Beberapa kali kami sudah sampaikan ke Sekda agar jangan meremehkan RTRW. Produk ini mendeskripsikan eksistensi ruang dan kewilayahan kita ke pemerintah pusat,” ucapnya lantang.

Yanlua juga menyinggung sejumlah kasus di mana lahan-lahan warga diambil paksa atau dipatok negara, khususnya di wilayah seperti Kecamatan Siwalalat. Ia menuding bahwa tindakan tersebut bersumber dari tafsir sepihak atas RTRW yang tidak menyisakan ruang legal bagi tanah-tanah adat dan perkebunan rakyat.
“Pertanyaannya, dari mana negara tahu suatu kawasan adalah hutan negara atau kawasan lindung? Kalau bukan karena referensinya dari dokumen RTRW kita sendiri,” ujar Kader PDI-P ini.
Dia menyatakan prihatin dengan kenyataan bahwa masyarakat SBT seperti menjadi orang asing di negeri sendiri. “Tanpa dialog, pemerintah datang dan memberi pal batas, menyatakan tanah ini milik negara. Ini menyakitkan.”
Ia juga menyoroti kelemahan dalam landasan hukum daerah, termasuk Perda Nomor 01 Tahun 2009 tentang Negeri dan Negeri Administratif yang dinilai sudah tidak relevan. Produk hukum tersebut, kata Yanlua, tidak merujuk pada UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. “Legal standing-nya tidak sesuai dengan ketentuan nasional. Saya minta perda itu direvisi, agar tidak menghilangkan identitas dan eksistensi masyarakat adat di SBT,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menilai status desa administratif bagi sejumlah negeri adat seperti di Siwalalat adalah bentuk pengingkaran terhadap sejarah dan jati diri masyarakat lokal. “Kabupaten SBT ini lahir dari rahim negeri-negeri adat. Tapi mereka disamakan dengan desa transmigrasi. Ini bentuk ketidakadilan struktural.”
Ia juga mengungkap bahwa tim RPJMD dari fraksinya menerima keluhan dari Bappeda Provinsi Maluku terkait lemahnya pengawalan Pemkab terhadap proses penyusunan dokumen RTRW.
Untuk itu, Yanlua meminta agar pemerintah daerah segera meninjau ulang seluruh dokumen RTRW dan RPJMD yang telah disusun. “Dokumen ini harus mengakomodasi hak-hak rakyat dan menggambarkan secara utuh kewilayahan SBT. Jika tidak, kita akan dikenang sebagai penyusun peta perampasan ruang hidup masyarakat sendiri,” tutupnya.
Penulis: Edison Waas