Diduga Tanpa AMDAL dan IUP, Tambang di Pulau Kei Besar Luluh-lantakkan Ruang Hidup Masyarakat

17/06/2025
Lokasi Pertambangan di Pulau Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara. Foto : Ist

titastory, Kepulauan Kei – Aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT Batu Licin Beton Asphalt (BBA) di Pulau Kei Besar diduga kuat dijalankan tanpa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Langkah ini bukan hanya melanggar regulasi nasional, tetapi juga berpotensi merampas ruang hidup ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat adat yang dijaga turun-temurun.

“Pertambangan di pulau kecil seperti ini tidak dibenarkan dalam kerangka hukum, budaya, dan ekonomi. Keberadaannya mengabaikan hak-hak masyarakat adat Kei,” ujar Fadel Notanubun, warga lokal, di Pulau Kei Besar, Selasa, 17 Juni 2025.

Lokasi tambang, terdapat salah satu alat berat yang melakukan pembongkaran.Foto : Ist

Menurut Fadel, kegiatan yang mencakup mineral non-logam—seperti dolomit, kuarsit, dan zirkon—diduga beroperasi tanpa IUP yang terdata di laman Minerba One Data Indonesia (MODI) ataupun AMDAL, dan tanpa proses sosialisasi partisipatif dengan masyarakat setempat.

Pulau Kei Besar adalah pulau kecil terluar yang dilindungi oleh UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; serta UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Semua peraturan ini melarang eksploitasi ekstraktif di kawasan seperti ini. Bahkan, PP No. 6 Tahun 2017 mencantumkan Kei Besar sebagai pulau strategis yang “tidak boleh untuk kegiatan pertambangan”.

Negara dan pemerintah daerah juga telah menetapkan RTRW Maluku Tenggara yang tidak mengizinkan konsesi tambang di Pulau Kei Besar, menjadikannya praktek yang jelas-jelas melanggar hukum.

Dampak sosial-ekologis yang muncul sudah nyata. Fadel menuturkan, ancaman banjir, rusaknya sumber air bersih, dan perubahan bentang alam bisa menghantui masyarakat. “Nilai-nilai lokal—makam leluhur, situs sakral, sistem adat—semuanya berada dalam ancaman karena masuknya investor tambang,” tambahnya.

Pemandangan dari laut, lokasi tambang Pasir dan Batu kapur di Pulau Kei Besar. Foto :Ist

Anak adat Syarif Renhoat memperingatkan bahwa tidak ada rantai nilai tambah yang dinikmati masyarakat. “Tambang hanya menguntungkan elit dan korporasi. Kami menolak tambang di Pulau Kei Besar atas nama tanah, adat, dan masyarakat Kei,” ujarnya tegas.

Fadel Notanubun menegaskan pula bahwa Pulau Kei Besar — dan seluruh pulau kecil di Maluku — seharusnya diperlakukan sebagai ruang hidup masyarakat adat dan ekosistem strategis. Ia mendesak:

1. Gubernur Maluku dan DPRD segera mencabut semua izin tambang di kawasan pulau kecil.
2. Pemerintah daerah membuka data publik terkait izin, lokasi konsesi, dan hasil AMDAL.
3. Aparat keamanan memberi penjelasan bila ada dugaan keterlibatan dalam pendampingan operasi multinasional tersebut.

“Pulau-pulau kecil bukan ladang tambang. Kami menolak eksploitasi ruang hidup yang merampas hak masyarakat dan merusak ekosistem pesisir serta kepulauan,” tegas Fadel.

Penulis: Sahdan Fabanyo
error: Content is protected !!