Dinilai Tebang Pilih, Polres Malteng Dituding Tak Adil Tangani Konflik Sawai–Masihulan

09/06/2025
Potret rumah-rumah warga Desa Masihulan yang dibakar se-kelompok warga Desa Sawai. Foto: Ist

titastory, Seram Utara – Warga Negeri (Desa) Masihulan, melontarkan kritik keras terhadap kinerja Kepolisian Resor (Polres) Maluku Tengah. Dalam rilis yang diterima titastory.id, Minggu, 8 Juni 2025, Patalatu menilai penegakan hukum oleh aparat dalam konflik berkepanjangan antara warga Desa Masihulan dan Sawai tidak dilakukan secara adil.

“Kami menghargai institusi Polri sebagai pelindung masyarakat. Tapi kami juga berhak menyampaikan pendapat jika rasa keadilan tak kami dapatkan,” Tulis Daniel Patalatu dalam laman facebooknya.

Dalam keterangannya, Patalatu mengungkapkan tiga poin utama yang menjadi sorotan masyarakat Masihulan terhadap Polres Maluku Tengah:

Pertama, ia mempertanyakan tindak lanjut laporan resmi Kepala Desa Masihulan yang sudah disampaikan beberapa waktu lalu. Laporan tersebut, menurutnya, berisi dugaan penggunaan senapan organik, bom, dan gas air mata—peralatan yang menurut aturan hanya dapat digunakan oleh aparat TNI atau Polri. Hingga kini, ia menyebut belum ada proses hukum yang jelas terhadap laporan itu.

Surat Laporan yang disampaikan oleh Kepala Pemerintah Negeri Administratif (KPN Adm) Masihulan, Yundri Patalatu, pada Senin, 26 Mei 2025, melalui surat bernomor 140/03/KPN-MS/Perm/V/2025. Foto: Ist

“Apakah laporan kami hanya jadi tumpukan kertas, atau sengaja dilambatkan sampai jadi pembungkus kacang goreng?” sindir Patalatu. Ia meminta Polres Malteng untuk segera melakukan penyisiran atau swiping untuk memastikan dugaan tersebut diusut tuntas.

Kedua, Patalatu menanggapi penangkapan sejumlah warga Masihulan pascakonflik. Ia menegaskan bahwa masyarakat tidak mentolerir pelanggaran hukum, namun menurutnya penegakan hukum harus dilakukan secara proporsional.

“Kami bertanya, apakah kehadiran aparat di Masihulan justru menciptakan rasa aman atau malah sebaliknya? Jika warga harus mencari solusi keamanan sendiri, itu pertanda ada krisis kepercayaan terhadap penegak hukum,” ujarnya.

Potret rumah warga Desa Masihulan yang Dibakar oleh Perusuh dalam aksi penyerangan, pada 3 April 2025. Foto: Ist

Ketiga, menurut Patalatu, sebagian besar warga Masihulan masih merasa tidak aman meski aparat telah diterjunkan. Ia menilai keberadaan aparat belum memberi kepastian hukum dan perlindungan yang layak.

“Kalau aparat hadir tapi warga tetap merasa terancam, lalu apa fungsi kehadiran mereka? Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas,” tambahnya.

Ia juga mengingatkan bahwa konflik yang berlarut ini tidak boleh dibiarkan. Pemerintah daerah, kepolisian, TNI, DPRD, hingga tokoh masyarakat harus bergandengan tangan mencari solusi yang adil dan berkelanjutan.

“Mohon maaf jika kami dianggap salah, tapi suara rakyat kecil harus juga didengar. Damailah negeriku. Salam damai dari rakyat kecil,” tutup Daniel Patalatu dalam rilisnya.

error: Content is protected !!