Pulau Gag di Raja Ampat Kian Terancam, Negara Dianggap Berpihak pada Oligarki Tambang
titastory, Jakarta – Pulau Gag, sebuah pulau kecil di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, belakangan kembali menjadi sorotan. Bukan karena keelokannya yang memesona, melainkan ancaman kerusakan ekologis akibat aktivitas pertambangan nikel oleh PT Gag Nikel—perusahaan patungan antara PT Antam Tbk. dan perusahaan asal Australia, BHP.
Pertambangan di Pulau Gag bukan cerita baru. Sejak 2017, PT Gag Nikel mengantongi izin Kontrak Karya seluas 13.136 hektare hingga 2047. Ironisnya, luas daratan Pulau Gag sendiri hanya sekitar 6.500 hektare, di mana 6.034 hektare di antaranya berstatus hutan lindung. Dengan kata lain, konsesi tambang itu bahkan dua kali lipat lebih luas dari daratan pulau, mencaplok seluruh darat dan wilayah pesisirnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), Pulau Gag dikategorikan sebagai pulau kecil—yang secara tegas dilarang untuk ditambang. Larangan ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang menolak gugatan PT Gema Kreasi Perdana terkait uji materi pasal larangan tambang di pulau kecil.
Namun, aturan dan putusan hukum seolah tak berarti. Negara justru dianggap aktif memberi jalan bagi korporasi tambang untuk beroperasi.

Tambang, Kriminalisasi, dan Perampasan Ruang Hidup
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, menilai, Pulau Gag hanya satu dari 35 pulau kecil di Indonesia yang telah dijarah atas nama investasi tambang—dengan restu penuh dari negara.
“Total ada 195 izin pertambangan yang mencaplok 351.933 hektare wilayah di 35 pulau kecil. Semua itu dilegalkan atas nama pembangunan, bahkan sebagian dibungkus narasi ‘pembangunan hijau’,” ujar Melky.
Menurutnya, tambang di pulau kecil sama saja menghancurkan satu-satunya ruang hidup warga. Pulau kecil memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan bentang alam. Hutan-hutannya menjadi benteng iklim mikro, menjaga tata air, sumber pangan, hingga pelindung alami dari bencana.
“Tambang menghapus ruang hidup. Merusak sumber air, pangan, obat-obatan tradisional, dan sistem produksi masyarakat lokal. Ini bukan hanya krisis ekologis, tapi kejahatan kemanusiaan,” katanya.
JATAM mencatat lebih dari 79 warga pulau kecil di Indonesia dikriminalisasi karena menolak tambang. Mereka ditangkap, dipukul, hingga dijebloskan ke penjara. Berbagai pasal digunakan untuk membungkam—mulai dari pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP), menghalangi tambang (Pasal 162 UU Minerba), hingga perampasan kemerdekaan (Pasal 333 KUHP).
“Pasal-pasal ini kerap diterapkan tanpa dasar hukum yang kuat. Di Wawonii, Sulawesi Tenggara, misalnya, ada 44 warga dikriminalisasi usai menolak tambang. Ini pola sistematis,” ucap Melky.

Melky menyoroti peran aktif negara, khususnya Kementerian Investasi/BKPM yang dipimpin Bahlil Lahadalia, dalam melanggengkan penambangan di Pulau Gag dan kawasan Raja Ampat lainnya. Saat publik mempersoalkan dampak tambang terhadap ekosistem dan pariwisata Raja Ampat, Bahlil justru menyatakan bahwa tidak ada kerusakan berarti.
“Pernyataan itu bohong besar. Analisis citra satelit menunjukkan deforestasi di Pulau Gag mencapai 262 hektare selama 2017–2024. Belum termasuk kerusakan pesisir akibat sedimentasi tambang dan dampak lalu lintas kapal tongkang nikel,” kata Melky.
Bahlil juga menyebut lokasi tambang yang berjarak 30–40 kilometer dari pusat pariwisata tidak berdampak. Pernyataan ini dibantah banyak pihak. “Bupati Raja Ampat Orideko Burdam dan Gubernur Papua Barat Daya Elisa Kambu bahkan kompak menyebut kerusakan itu hoaks,” katanya.
JATAM menilai, pernyataan itu menandakan negara telah berubah wujud menjadi alat oligarki ekstraktif. Di balik retorika pembangunan, negara justru aktif mengabaikan prinsip keberlanjutan dan melanggar putusan hukum.

Ketika Hukum Jadi Simbolik dan Negara Kehilangan Legitimasi
Putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang melarang tambang di pulau kecil seharusnya menjadi panglima. Namun, pelaksanaannya kerap hanya berhenti di atas kertas. Aktivitas tambang tetap berlangsung, seperti di Pulau Sangihe dan Wawonii, kendati warga telah menang di pengadilan.
“Negara bukan sekadar abai, tapi turut serta membiarkan kejahatan ekologis terus berlangsung,” kata Melky.
Ketika hukum hanya menjadi formalitas, negara kehilangan legitimasi sebagai pelindung rakyat. Ia justru menjadi pelaku utama penindasan atas nama pertumbuhan ekonomi.
Lima Tuntutan untuk Pemerintah
Atas situasi ini, JATAM menantang pemerintah agar berhenti sekadar berpidato atau menyegel tambang sebagai formalitas semata. Pemerintah diminta mengambil langkah nyata melalui lima tuntutan:
- Mencabut seluruh regulasi yang melegalkan tambang di pulau kecil, termasuk Undang-Undang Minerba beserta aturan turunannya.
- Menyusun regulasi perlindungan hukum yang tegas dan tanpa celah untuk wilayah pulau kecil.
- Menghapus Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengakomodasi kepentingan tambang di kawasan pesisir dan pulau kecil.
- Menghentikan, mengevaluasi, mengaudit, dan mencabut seluruh izin tambang yang telah terlanjur merusak pulau-pulau kecil.
- Berhenti menerbitkan izin tambang baru di wilayah pulau kecil Indonesia.
JATAM menegaskan bahwa jika negara terus berdiri di sisi korporasi, maka konflik ruang hidup akan terus membesar. Pulau-pulau kecil, yang seharusnya menjadi garis depan pertahanan ekologi dan identitas bangsa maritim, justru berubah menjadi saksi bisu kerakusan yang dilegalkan oleh negara.