Polisi Diminta Tindak Pemuda Sawai Usai Spanduk Penolakan Permukiman Masihulan Viral di Media Sosial
titastory, Seram Utara – Aksi penolakan pembangunan permukiman warga Desa Masihulan oleh sekelompok pemuda Negeri Sawai, Kabupaten Maluku Tengah, menuai polemik. Spanduk bertuliskan penolakan yang dipasang di berbagai titik di wilayah Petuanan Negeri Sawai dan kemudian viral di media sosial, dinilai sebagai bentuk provokasi yang dapat memicu konflik lanjutan pasca-kerusuhan antarwarga beberapa bulan lalu.
Aksi ini tidak hanya dilakukan oleh para pemuda. Saniri Negeri dan Dewan Adat Sawai disebut turut mendukung penolakan dengan menyatakan sikap resmi melalui spanduk yang dipasang di jalan-jalan utama. Spanduk tersebut menegaskan penolakan terhadap rencana Pemerintah membangun kembali permukiman warga Masihulan yang sebelumnya hangus terbakar akibat konflik.
“Kami Saniri Negeri Sawai menolak dengan tegas rencana pembangunan permukiman Desa Masihulan di atas tanah Petuanan Sawai,” tulis salah satu spanduk yang beredar luas di media sosial dan menuai ratusan komentar.

Polisi Tempatkan Pasukan di Titik Rawan
Kapolres Maluku Tengah, AKBP Hardi Meladi Kadir, mengatakan pihaknya telah mengambil langkah antisipatif untuk meredam potensi konflik susulan. “Yang jelas, dalam situasi seperti sekarang, segala sesuatu bisa saja terjadi. Maka kami telah siagakan personel di beberapa lokasi rawan,” ujarnya saat dikonfirmasi titastory.id, Rabu 4 Juni 2025.
Hardi menegaskan bahwa pihaknya terus memantau dinamika di lapangan dan berkoordinasi dengan berbagai pihak guna memastikan situasi tetap kondusif. Namun hingga kini belum ada tindakan hukum terhadap pemasangan spanduk atau unggahan ujaran kebencian di media sosial.
Kritik Tajam: “Provokasi Berbungkus Adat”
Seorang pegiat sosial, Thomas Madilis, melalui unggahan di grup Facebook Gerbang Malteng, menilai aksi tersebut sebagai bentuk provokasi terang-terangan yang justru dapat membahayakan proses perdamaian.
“Pikiran intelektual sedang membangun opini perdamaian, mengeksekusi gerakan persaudaraan. Tapi pikiran pengangguran justru sibuk melakukan kejahatan kemanusiaan atas nama tanah adat. Ini sangat berbahaya,” tulis Thomas, merujuk pada kelompok pemuda yang disebutnya “pemabuk-provokator”.
Thomas juga menyinggung bahwa selama ini mahasiswa dari kedua wilayah yang sedang studi di Ambon aktif mengampanyekan perdamaian pascakonflik. Ia meminta agar orang tua dan tokoh masyarakat mendidik generasi muda agar tidak mudah terprovokasi oleh narasi kebencian.

Seret Anak dalam Aksi Kebencian
Kemarahan publik meningkat setelah beredar foto anak-anak memegang spanduk penolakan di jalanan. Banyak warganet mengecam aksi tersebut sebagai bentuk eksploitasi anak dalam isu politik dan konflik, yang dianggap melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014.
“Kenapa harus libatkan anak-anak dalam konflik orang dewasa? Ini bukan hanya salah secara moral, tapi juga pelanggaran hukum,” ujar akun @Ajaha Lestaluhu dalam kolom komentar.
Pasal 15 UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak berhak mendapat perlindungan dari pelibatan dalam kegiatan politik, konflik bersenjata, kerusuhan sosial, dan kekerasan. Selain itu, tindakan menyebarkan ujaran kebencian di media sosial juga dapat dijerat Pasal 28 Ayat (2) UU ITE yang melarang penyebaran informasi bermuatan kebencian berbasis SARA.

Seruan Penegakan Hukum dan Rekonsiliasi Sosial
Unggahan yang memicu kehebohan itu pertama kali muncul dari akun Facebook bernama @Ami dan @Iwan Alvaro Da Silva di grup Gerbang Malteng. Mereka mengunggah foto-foto spanduk dan anak-anak yang turut aksi, serta menandai sejumlah pejabat Maluku, termasuk politisi DPR dan tokoh lokal.
“Sudah tiga bulan pasca-konflik, akses darat belum dibuka. Tapi yang muncul justru spanduk penolakan? Ini bentuk pengingkaran terhadap semangat rekonsiliasi,” tulis Iwan dalam postingannya.
Berbagai komentar warganet mendesak aparat penegak hukum untuk segera menindak para penyebar kebencian dan provokasi. Sebagian juga mempertanyakan mengapa hingga kini belum ada proses hukum terhadap pelaku pembakaran rumah warga Masihulan.
“Kalau memang tanah adat, silakan tempuh jalur hukum. Jangan hasut orang kampung dengan kebencian dan kebodohan yang ditanamkan ke anak-anak,” tulis akun @Danyel Patalatu.

Membangun Damai, Menolak Hasutan
Konflik antara warga Negeri Sawai dan Rumaolat telah menyebabkan puluhan rumah warga Masihulan terbakar dan mengungsi. Pemerintah merencanakan relokasi dan pembangunan kembali permukiman, namun penolakan sebagian warga Sawai kini menjadi batu sandungan.
Para pegiat damai mendesak agar proses pembangunan fisik tidak melupakan pentingnya pembangunan sosial berbasis rekonsiliasi, edukasi, dan penegakan hukum.
“Jangan hanya kejar pembangunan rumah, tapi biarkan luka sosial membusuk. Negara harus hadir menegakkan keadilan dan mencegah generasi muda menjadi korban kebencian warisan konflik,” ujar seorang aktivis kemanusiaan di Seram Utara.