Oleh: Sahdan Fabanyo
Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh sebuah pemberitaan di media daring Detik.com yang mempertanyakan keberadaan para purnawirawan jenderal yang kini menduduki jabatan-jabatan sipil dalam struktur birokrasi negara. Isu ini kembali membangkitkan perdebatan lama: sejauh mana sistem merit benar-benar diterapkan dalam manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN)?
Pertanyaan yang muncul bukan semata soal figur militer di jabatan sipil, tetapi lebih mendasar: di mana letak integritas sistem merit yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN?
UU ASN secara tegas mendefinisikan sistem merit sebagai kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, serta diberlakukan secara adil dan wajar tanpa diskriminasi. Sistem ini seharusnya menjadi landasan utama dalam setiap proses rekrutmen, promosi, dan pengisian jabatan, termasuk di level Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT).

Sebagai bagian dari prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, sistem merit bahkan ditempatkan sebagai salah satu dari tiga program utama di bidang aparatur negara. Tujuannya jelas: menciptakan birokrasi yang profesional, bersih dari intervensi politik, serta mampu melayani publik secara efektif dan efisien.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa implementasi sistem merit kerap kali menghadapi benturan. Mulai dari proses rekrutmen yang tidak transparan, penempatan pejabat yang tidak sesuai kompetensi, hingga dominasi aktor-aktor politik atau militer dalam jabatan-jabatan sipil. Semua ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah sistem merit hanya berhenti pada level normatif dan belum menjelma sebagai praktik birokrasi yang konsisten?
Salah satu instrumen yang dirancang untuk menjaga kualitas penerapan sistem merit adalah SIPINTER (Sistem Informasi Penilaian Mandiri Penerapan Sistem Merit), yang dikembangkan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Aplikasi ini memungkinkan instansi pemerintah melakukan self-assessment terhadap pelaksanaan sistem merit berdasarkan indikator terstandar. Hasil penilaian ini kemudian menjadi dasar evaluasi dan rekomendasi perbaikan.
Lebih jauh, SIPINTER juga menjadi tolok ukur bagi KASN dalam menentukan kelayakan sebuah instansi untuk dikecualikan dari proses seleksi terbuka. Namun, sekali lagi, semua akan kembali kepada komitmen politik dan integritas lembaga: apakah hasil penilaian tersebut benar-benar menjadi pijakan atau hanya formalitas administratif?
Hadirnya KASN sebagai lembaga independen pengawas sistem merit seharusnya menjadi benteng terhadap praktik-praktik deviasi dalam manajemen ASN. Dalam Pasal 25 UU ASN, KASN diberi kewenangan untuk melakukan monitoring dan evaluasi serta menegakkan kode etik dan kode perilaku ASN. Namun, KASN pun tak luput dari tantangan, mulai dari keterbatasan wewenang, resistensi politik, hingga tekanan institusional.
Kita perlu mengingat bahwa sistem merit bukan sekadar prosedur birokratik, tetapi cermin dari keberpihakan negara pada keadilan, profesionalisme, dan pelayanan publik yang berkualitas. Jika sistem ini dikompromikan oleh kepentingan politik atau loyalitas sektoral, maka yang dikorbankan bukan hanya ASN itu sendiri, tapi juga kepercayaan masyarakat terhadap negara.
Mengapa sistem merit penting? Karena ia menjamin bahwa setiap ASN—siapa pun dia—memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang, tanpa harus tersandera oleh kedekatan politik atau garis komando tertentu. Karena sistem merit melindungi ASN dari rotasi tak berdasar, dan memberikan ruang promosi yang adil. Karena ia adalah fondasi dari tata kelola pemerintahan yang modern, profesional, dan berorientasi pada pelayanan.
Sudah saatnya kita berhenti mempermainkan sistem merit sebagai jargon. Negara membutuhkan birokrasi yang bekerja, bukan yang sekadar tunduk. ASN harus dilihat sebagai profesi, bukan anak tangga kekuasaan. Dan sistem merit—jika sungguh ditegakkan—adalah jembatan menuju birokrasi yang kuat, bukan sekadar slogan pembangunan.
Penulis merupakan jurnalis di titastory.id