“Ibu Saya Dibakar di Halaman Rumah”: Surat dari Seorang Anak Papua Kepada Presiden Prabowo

25/05/2025
Foto mama Hentina saat masih hidup dan jasadnya yang terkubur tidak layak.
Tragedi Jindapa: Ketika Seorang Mama Papua Dibakar di Halaman Rumahnya

titastory, Intan Jaya — Bau busuk itu awalnya hanya samar. Tapi perlahan, menjadi begitu menusuk. Warga Kampung Jindapa, Distrik Sugapa, Intan Jaya, mulai mendekat ke arah honai kecil di balik semak. Rumah kayu khas Papua itu tampak sepi, tetapi aroma tajam kematian menyelimuti udara. Mereka menemukan tanah yang tergali dangkal. Di dalamnya, tubuh tak utuh seorang perempuan—hangus, hancur, dan ditinggalkan seperti bangkai.

Namanya Hetina Mirip. Seorang ibu rumah tangga yang dikenal sebagai perempuan pendiam dan religius. Ia dilaporkan hilang sejak 15 Mei 2025. Enam hari kemudian, jasadnya ditemukan. Tubuhnya terbakar, terkubur secara tak layak di pekarangan rumahnya sendiri.

Foto: tangkapan layar dari video akun YouTube @ManusKripPAPUA berjudul Tragedi Intan Jaya: Aparat TNI-POLRI Diduga Bunuh Lansia, Kubur Jenazah Secara Keji!

Kematian Hetina terjadi di tengah operasi militer besar-besaran di Distrik Sugapa, wilayah yang selama ini dicap “zona merah” oleh aparat. Warga menyebut, saat operasi berlangsung, terdengar tembakan dan kepanikan. Beberapa warga menghilang. Di antaranya, Hetina.

“Dia bukan kombatan. Bukan anggota OPM. Hanya seorang mama Papua biasa. Tapi dibakar seperti itu, apakah itu keadilan?” Tulis Antonia Hilaria Wandagau, dalam surat terbuka yang ditujukan langsung kepada Presiden Republik Indonesia, Jenderal (Purn.) Prabowo Subianto.

Kematian Hetina mengguncang warganet. Tapi yang lebih menyayat adalah surat terbuka dari putrinya, Antonia Hilaria Wandagau, yang ditujukan langsung kepada Presiden Republik Indonesia, Jenderal (Purn.) Prabowo Subianto.

“Pak Presiden, Ibu Saya Dibakar di Halaman Rumah”

Dalam surat itu, Antonia menulis dengan bahasa sederhana namun dalam:

“Ibu saya bukan musuh negara. Ia hanya seorang perempuan Papua. Tapi ia ditembak dan dibakar di depan mata saya. Ia dikubur tanpa upacara, tanpa air mata dari negara yang katanya milik semua rakyatnya.”

Surat itu tak hanya mencatat duka, tapi juga gugatan moral.

“Apakah nasionalisme berarti menembaki rakyat sendiri atas nama stabilitas?” tulisnya.“Kami bukan statistik. Kami adalah anak-anak manusia yang bertanya: apa dosa kami lahir sebagai Papua?”

Antonia melanjutkan, di kampungnya sekolah telah berubah jadi barak militer, guru digantikan senapan, dan tangis anak-anak menjadi latar belakang dari setiap patroli.

Keterangan gambar: Suasana warga bergotong royong bongkar Honai (rumah tradisional asal papua) milik Mama Hetina pasca ditemukan jasadnya di sekitar rumah miliknya. Foto: Foto: Tangkapan layar dari video akun YouTube @ManusKripPAPUA berjudul Tragedi Intan Jaya: Aparat TNI-POLRI Diduga Bunuh Lansia, Kubur Jenazah Secara Keji!

 

Rakyat Mengungsi, Negara Bungkam

Sejak awal 2024, operasi militer di Intan Jaya dan daerah pegunungan tengah Papua meningkat intensitasnya. Dalam banyak kasus, warga sipil jadi korban—baik karena salah sasaran, dicurigai sebagai simpatisan, atau hanya berada di tempat yang salah saat operasi berlangsung.

Namun investigasi mendalam hampir tak pernah terjadi. Para pelaku dibiarkan melenggang. Impunitas menjadi norma. Para korban hanya dikenang dalam bisik-bisik.

Sebuah video yang viral di kanal YouTube @ManusKripPapua menunjukkan bukti penggalian makam Hetina. Narasi video tersebut menyebut dugaan kuat keterlibatan aparat dalam kematian Hetina sebagai bagian dari pelanggaran HAM berat.

“Jika negara tak sanggup melindungi kami, paling tidak berhentilah menyakiti kami,” tulis Antonia menutup suratnya. “Jangan wariskan darah pada generasi berikutnya. Kembalikan kemanusiaan.”

Seorang mama, warga setempat yang mencoba menjelaskan awal mula ditemukannya jesad mama Hentina di sekitar Honai atau rumahnya yang dikubur secara tidak layak. Foto: Foto: tangkapan layar dari video akun YouTube @ManusKripPAPUA berjudul Tragedi Intan Jaya: Aparat TNI-POLRI Diduga Bunuh Lansia, Kubur Jenazah Secara Keji!

Mengapa Surat Ini Penting?

Dalam dunia yang begitu ramai oleh suara elite, surat seorang anak Papua kepada Presiden mungkin tampak kecil. Tapi ia adalah cermin. Cermin dari luka yang selama ini ditutup kabut kata-kata tentang stabilitas, nasionalisme, dan pembangunan. Padahal, pembangunan macam apa jika rumah dibakar dan ibu dibunuh?

Ketika dunia internasional dipertontonkan sikap Indonesia sebagai penengah damai konflik luar negeri, seorang anak dalam negeri masih bertanya:

“Mengapa dialog ditutup untuk kami sendiri di Papua?”

Antonia juga mempertanyakan paradoks sikap negara: Presiden yang aktif menawarkan diri menjadi mediator damai dalam konflik global seperti Rusia-Ukraina, namun belum pernah membuka ruang dialog damai yang sungguh-sungguh dengan rakyatnya sendiri di Papua. Ketimpangan empati ini menjadi pukulan bagi masyarakat Papua yang merasa terus-menerus dikorbankan dalam narasi nasionalisme yang tak berpihak.

“Anda menawarkan diri sebagai mediator konflik Rusia dan Ukraina, tetapi mengapa Anda tutup pintu dialog dengan rakyat Anda sendiri di Papua?”

Kematian Hetina Mirip hanyalah satu dari sekian banyak kisah yang tak tercatat dalam narasi resmi negara. Tidak ada pengusutan, tidak ada proses hukum, bahkan tidak ada pelayat dari lembaga negara. Yang tersisa hanyalah abu dan trauma.

Dalam suratnya, Antonia tidak menuntut balas. Ia menuntut keadilan. Ia menuntut diakhirinya kekerasan terhadap rakyat sipil. Ia meminta negara untuk berhenti menyakiti dan mulai mendengarkan. Sebab, menurutnya, kemerdekaan belum benar-benar hadir di tanah Papua.

“Apa arti kemerdekaan jika kami masih hidup dalam bayang-bayang penyisiran, pengejaran, dan stigma? Di mana itu Pancasila, ketika sila kemanusiaan justru dikubur bersama mayat ibu saya?”

Surat ini, mungkin, akan menjadi satu lagi surat yang tak dibalas. Tapi Antonia menulis agar dunia tahu: bahwa masih ada anak bangsa yang hidup dalam ketakutan, kehilangan orang tua, dan menyaksikan rumah mereka berubah jadi abu oleh operasi militer negaranya sendiri.

“Jika negara tak sanggup melindungi kami, paling tidak berhentilah menyakiti kami. Jangan wariskan darah kepada generasi berikutnya.”

Kini, surat itu telah menyebar luas di media sosial dan kalangan aktivis HAM. Ia telah menjadi dokumen pengingat, bahwa luka Papua bukan hanya luka politik—tetapi luka kemanusiaan yang menunggu jawaban.

Tulisan ini memuat secara utuh isi surat tersebut, disertai latar yang menggambarkan bagaimana rakyat Papua, dalam senyap dan takut, terus menyimpan luka demi luka. Berikut isi lengkap surat Antonia: 

Pak Presiden, Ibu Saya Dibakar di Halaman Rumah: Sampai Kapan Negara Menembaki Rakyatnya Sendiri?


Kepada Yth.
Presiden Republik Indonesia
Jenderal (Purn.) Prabowo Subianto
di Istana Negara, Jakarta

 

Bapak Presiden,
Ibu saya, Hetina Mirip, bukan kombatan. Ia bukan bagian dari kelompok bersenjata, bukan pula musuh negara. Ia hanya seorang perempuan Papua, ibu rumah tangga yang setia pada dapur dan doa. 
Tapi pagi kemarin yang bisu di Kampung ku Jindapa, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, tentara datang, rumah kami dikepung, dan ibuku ditembak, dibakar di halaman rumah, tepat di depan mata saya. 
Ia dikubur tanpa upacara, tanpa upaya hukum, tanpa satu pun air mata dari negara yang katanya milik semua rakyatnya.


Bapak Presiden,
Apakah ini arti nasionalisme di mata negara: membunuh warganya sendiri lalu memanggilnya stabilitas? 
Apakah luka yang menganga di Nduga, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Dogiyai, Mimika, Maybrat dan daerah lainnya di Tanah Papua hanyalah angka dalam laporan militer? 
Kami bukan statistik, Pak. Kami anak-anak manusia yang masih bertanya: apa dosa kami dilahirkan sebagai Papua?
Saya menulis surat ini bukan hanya untuk ibu saya, tapi untuk ribuan ibu lain yang dibakar perlahan oleh peluru, ketakutan, dan pengungsian. 
Di tanah kami, sekolah berubah jadi barak, guru digantikan senapan, dan suara tangis anak-anak menjadi latar belakang setiap operasi. 
Kami butuh guru dan nakes, bukan pasukan tempur. Kami ingin hidup, bukan dibungkam.

 

Bapak Presiden,
Sementara dunia Anda dipenuhi konferensi dan foto diplomatik, kami terjebak dalam kobaran senyap kekerasan. 
Anda menawarkan diri sebagai mediator konflik Rusia dan Ukraina, tetapi mengapa Anda tutup pintu dialog dengan rakyat Anda sendiri di Papua? 
Mengapa negara lebih peduli pada pengungsi asing daripada kami, pengungsi di tanah sendiri?
Saya ingin mengerti, Pak, bagaimana mungkin pembunuhan warga sipil bisa dianggap prestasi? 
Bagaimana bisa tentara yang membakar kampung kami diberi penghargaan? Apakah impunitas kini bagian dari budaya resmi negara? 
Apakah keadilan hanya milik mereka yang berseragam dan berkantor di ibu kota?

 

Bapak Presiden,
Apa arti Indonesia jika tidak ada tempat untuk Papua di dalamnya, selain sebagai target tembak? 
Apa arti kemerdekaan jika kami masih hidup dalam bayang-bayang penyisiran, pengejaran, dan stigma? 
Di mana itu Pancasila, ketika sila kemanusiaan justru dikubur bersama mayat ibu saya?
Saya tidak menulis untuk membalas dendam. 
Saya menulis agar nurani Anda terbangun. Agar publik Indonesia tahu bahwa kemerdekaan belum tiba di tanah kami. 
Bahwa ada anak bangsa yang terus-menerus disayat oleh negaranya sendiri, dan dunia diam.

Surat ini adalah suara dari seorang anak, korban, dan saksi. 
Jika negara tak sanggup melindungi kami, paling tidak berhentilah menyakiti kami. 
Jangan wariskan darah kepada generasi berikutnya. Hentikan pembantaian. Buka ruang dialog. 
Hadirkan keadilan. Kembalikan kemanusiaan.

Kami masih menunggu, Pak Presiden. Tapi entah sampai kapan.

Hormat saya,
Seorang anak Papua yang kehilangan ibuku karena ditembak dan dibakar aparat negara
(Antonia Hilaria Wandagau)

 

 

error: Content is protected !!