titastory, Seram Selatan – Suasana hening menyelimuti titik koordinat 3⁰12’33.6″ LS dan 129⁰30’58.3″ BT pada Sabtu, 17 Mei 2025. Di lokasi itulah jasad Firdaus Ahmad Fauji ditemukan—tanpa satu pun kehadiran petugas Balai Taman Nasional Manusela (BTN Manusela) di sekitar area pencarian tahap dua.
Kepala Balai, Deny Rahadi, saat dikonfirmasi, menyatakan bahwa absennya tim mereka disebabkan kelelahan pasca operasi SAR pertama. “Kami sedang dalam pemulihan fisik. Tapi kami tetap memantau dan mendukung para relawan,” ujarnya.
Namun pernyataan itu terasa ganjil di telinga para relawan yang bergantian mengevakuasi jenazah Firdaus melalui rute ekstrem dari Puncak Manukupa, Teleuna, hingga Aimoto. Sebab sepanjang rentang pencarian dari Selasa 13 Mei hingga jasad ditemukan, tak satu pun pegawai BTN terlihat.

Kemarahan meledak dari mulut Felmi Lamasano, salah satu relawan dalam tim SAR. “Bodoh basar. Orang munafik macam dia seng cocok jadi pemimpin,” katanya, merujuk langsung pada Kepala Balai.
Felmi, mantan Ketua Mahipala Ambon, mengatakan dirinya tergabung dalam tim estafet evakuasi dan mengetahui pasti siapa saja yang terlibat di lapangan. “Beta tahu siapa yang kerja dan siapa yang cuma bicara,” ujarnya.
Hal serupa diungkapkan oleh Iben Ilelapotoa, Ketua Porter Piliana. Ia mengonfirmasi bahwa tidak ada satu pun nama staf Balai, termasuk mitra lokal, yang terlibat dalam evakuasi dari Teleuna ke Piliana.
“Seng ada. Samdjar juga seng ikut,” kata Iben sambil menunjukkan daftar relawan.
Dilarang Turun: “Katong dapa larang”
Saat ditemui di Balai Desa Piliana, Jumat 16 Mei 2025, Samdjar Ilelapotoa—mitra BTN Manusela—mengaku dilarang ikut pencarian karena belum mendapat perintah dari atasannya.
“Katong dapa larang. Tunggu parentah atasan baru bisa bagara,” katanya tanpa raut penyesalan.

Pernyataan Samdjar disaksikan oleh sejumlah relawan, termasuk Upi Kanal dari Ambon, Askar Genpas, dan Felmi Lamasano. Ketiganya mengaku geram karena bantuan yang seharusnya datang dari instansi resmi justru nihil.
“Janji turun ke lapangan tapi hanya tinggal janji,” ucap Askar.
Raja Hatumete: “Nama Baik Kami yang Kami Jaga”
Dalam suasana duka, suara tenang datang dari Raja Hatumete, Bernard Lilihata. Ia menyebut bahwa Firdaus sudah kembali ke pangkuan tanah kelahirannya.
“Yang terpenting, nama baik masyarakat adat, relawan, dan Maluku dijaga,” katanya.
Meski tak ikut menyuarakan pencopotan kepala balai secara langsung, Bernard menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh atas kinerja BTN Manusela. “Kita butuh orang yang bisa menghargai adat, budaya, dan masyarakat yang hidup dalam kawasan taman nasional,” ujarnya.

Kini, publik menanti apakah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan mengevaluasi BTN Manusela secara menyeluruh. Sebab lebih dari sekadar kelalaian, kisah ini menyingkap wajah birokrasi yang beku di tengah tragedi. Dan di balik semua itu, ada nama-nama relawan dan masyarakat adat yang bergerak tanpa upah demi kemanusiaan—sementara mereka yang dibayar untuk melindungi, justru bersembunyi di balik alasan.
Reporter: Sofyan Hattapayo Editor : Christ Belseran