Sinode GPM Diultimatum: Bayar Rp100 Miliar atau Angkat Kaki dari Suli

18/05/2025
Keterangan Gambar : Arah depan Kantor Sinonde GPM. Foto Web
Hahury: "Tak ada win-win solution di pengadilan, objek tetap dikosongkan”

titastory.id, Ambon — Tanah hibah dari Pemerintah dan Saniri Negeri Suli untuk pembangunan kampus Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) sejak 1987 kini bermasalah. Frans B. Pattirane, selaku ahli waris dan Kepala Dati pengganti Laoerens Pattirane dan Abraham Pattirane, melayangkan somasi ke sejumlah pihak.

Somasi dilayangkan melalui kuasa hukumnya, Johanis L. Hahury, dengan alasan bahwa proses hibah dilakukan secara sepihak, tanpa hak, dan melanggar hukum. Objek sengketa berupa tanah dati milik Frans Pattirane seluas 20 hektare atau 200.000 meter persegi.

“Ini somasi ketiga dan terakhir setelah dua somasi sebelumnya kami layangkan kepada Sinode GPM, MPH Sinode GPM, Majelis Pertimbangan Sinode GPM, YAPERTI, Rektor UKIM, Raja Negeri Suli, dan Saniri Negeri Suli,” terang Hahury.

Keterangan Gambar : Pertemuan Johanis Hahury, Kuasa Hukum Pattirane, dan Ketua Umum Sinode GPM. Pdt. E. T. Maspaitella. Foto ; Ist

Menurut Hahury, hibah yang dilakukan pada 7 Agustus 1987 oleh Raja Negeri Suli dan Saniri Negeri Suli kepada Sinode GPM, dilanjutkan dengan Akta Hibah Nomor 12/1987 tertanggal 26 September 1987, telah melanggar hukum karena objek hibah bukan milik sah penghibah, melainkan warisan dari Lorens Pattirane.

“Pengakuan atas kekeliruan hukum ini sudah disampaikan oleh Raja dan Saniri Negeri Suli beserta seluruh Kepala Soa. Maka akta hibah tersebut tidak sah menurut undang-undang dan batal demi hukum,” tegasnya.

Hahury menyatakan, Sinode GPM telah membangun berbagai fasilitas UKIM di atas tanah sengketa, termasuk bangunan, jalan aspal, dan drainase. Namun, semua pembangunan itu dilakukan di atas tanah hak waris kliennya.

Upaya penyelesaian damai telah dilakukan dengan mengajukan proposal ganti rugi sebesar Rp100 miliar (Rp500.000 per meter persegi x 200.000 meter persegi). Namun, tawaran ini diabaikan oleh Sinode GPM.

“Kami telah menyampaikan solusi damai, nilai ganti rugi ini pun jauh di bawah harga pasar yang ditawarkan lembaga keagamaan lain. Tetapi Sinode tetap menolak,” ungkapnya.

LBH GPM dalam surat tanggapan Nomor 02/T/LBH-GPM/IV/2024 menyatakan tidak akan membayar ganti rugi dan menolak akta hibah dibatalkan. Sikap ini, menurut Hahury, memperlihatkan itikad buruk dan kesan ingin menguasai objek hibah secara sepihak.

“Kami sesalkan sikap Ketua Sinode yang menyatakan akta hibah tak dapat dibatalkan. Itu pendapat keliru dan menyesatkan seluruh jemaat GPM. Kami akan buktikan di pengadilan,” tegasnya.

Pihak Pattirane memberikan tenggat 30 hari kepada Sinode GPM untuk menyampaikan keputusan tertulis terkait pembayaran ganti rugi. Bila tidak direspons, maka akan dianggap menolak ganti rugi, melepaskan hak atas objek hibah, dan memilih penyelesaian di pengadilan.

“Selama belum ada pelunasan, kami larang siapa pun, termasuk Sinode GPM, melakukan kegiatan apa pun di atas objek hibah. Kami juga akan menyegel bangunan UKIM jika Raja dan Saniri Negeri Suli tidak bertindak sesuai hukum,” imbuhnya.

Hahury juga menegaskan bahwa Pemerintah dan Saniri Negeri Suli turut bertanggung jawab atas kesalahan hukum ini dan harus melarang aktivitas Sinode GPM di tanah sengketa hingga ada pelunasan atau persetujuan tertulis dari pihak Pattirane.

“Jika tetap tidak ada tanggapan, kami akan tempuh jalur hukum. Setelah ada putusan inkracht, kami akan lakukan pengosongan, bahkan menjual objek hibah kepada pihak lain,” tutup Hahury.

Penulis: Edison Waas

error: Content is protected !!