Jejak Harita Digugat dari Amsterdam
titastory, Amsterdam— Suasana tenang di Hortus Botanicus, kebun raya bersejarah di jantung Kota Amsterdam, Ibu Kota Kerajaan Belanda mendadak berubah menjadi arena protes. Puluhan warga Belanda keturunan Maluku, membawa spanduk dan bendera perjuangan, mengepung gedung tempat berlangsungnya forum bertajuk Perspective on Nickel and the Global Energy Transition, Selasa, 12 Mei 2025. Di dalam gedung itu, secara diam-diam, perwakilan PT Harita Nickel diduga tengah mempresentasikan proyek mereka kepada sejumlah organisasi bisnis dan calon investor Eropa.
“Kami tahu Harita akan datang dan mencoba menjual narasi hijau kepada dunia. Tapi kami juga tahu luka yang mereka tinggalkan di tanah kami,” ujar salah seorang demonstran dalam orasinya yang dikutip dari akun sosial media instagram @sakamesemaluku, sambil menggenggam spanduk bertuliskan: “Maluku Is Not For Sale.”
Di luar gedung yang biasanya menjadi tempat wisata botani dan riset ilmiah, aksi damai berubah menjadi aksi investigatif. Para peserta aksi semula ditolak masuk dan diberi informasi keliru bahwa tidak ada rapat dengan pihak Indonesia. Namun seorang staf gedung akhirnya membocorkan bahwa pertemuan memang tengah berlangsung. Setelah negosiasi alot, empat orang dari massa aksi diizinkan masuk.

Menurut informasi yang diterima titastory, Harita datang untuk menawarkan kerja sama energi hijau berbasis nikel — logam yang kini jadi primadona dalam transisi energi global. Salah satu NGO yang turut hadir dalam forum itu adalah Earthqualizer Foundation, organisasi nirlaba asal Indonesia yang dikenal aktif memantau rantai pasok dan dampak lingkungan industri ekstraktif.

Namun warga Maluku yang hadir bukan menyoal transisi energi. Mereka datang membawa pesan tentang kerusakaan lingkungan, air keruh, udara beracun, dan tanah yang dirampas.
“Saudara-saudara kami di Pulau Obi menderita. Mereka tidak minum air bersih, mereka kehilangan kampung halaman,” kata seorang massa aksi dalam orasi mereka.
Luka dari Pulau Obi
Kemarahan warga Maluku di Belanda tak datang tiba-tiba. PT Harita Group, perusahaan yang dikendalikan konglomerat keluarga Lim Hariyanto, telah beroperasi di Desa Kawasi, Pulau Obi, Maluku Utara sejak 2012. Namun sejak saat itu pula, deret keluhan dan temuan pelanggaran mencuat.
Sementara itu, dari Laporan investigatif kolaboratif oleh OCCRP, The Gecko Project, The Guardian, Deutsche Welle, dan KCIJ mengungkap bahwa Harita telah mencemari sumber air minum di Desa Kawasi dengan limbah beracun. Penduduk dilaporkan mengalami gangguan kesehatan, dari kerusakan ginjal dan jantung, hingga penyakit kulit kronis.

Dirilis dari laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang berjudul Hentikan Harita, menegaskan bahwa perusahaan ini adalah wajah dari ekstraktivisme brutal di Indonesia. Aktivitas tambang nikel, batu bara, bauksit, hingga sawit dan perkayuan dilakukan dengan mengandalkan pembiayaan dari lembaga keuangan besar.
“Setiap wilayah operasi Harita meninggalkan luka. Mereka berulang kali melanggar hukum, namun tak pernah benar-benar dihukum,” tulis JATAM. Salah satu bukti pelanggaran hukum adalah kasus suap yang menyeret Stevi Thomas, petinggi Harita, kepada Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba, sebesar US$60.000.
JATAM juga mencatat, sejak 2000, aktivitas Harita telah menyebabkan deforestasi seluas 19.100 hektare — setara 13 persen penurunan tutupan hutan — dan meninggalkan 904 lubang tambang terbuka di Kalimantan dan Maluku.

Transisi Energi, Keadilan yang Ditinggalkan
Kehadiran Harita dalam forum transisi energi di Amsterdam menunjukkan upaya perusahaan untuk memoles citra di tengah meningkatnya tekanan global soal keberlanjutan. Namun, bagi warga Maluku, label hijau tak menutupi jejak luka.
“Transisi energi harus adil. Tidak boleh mengorbankan orang-orang kami di selatan,” kata seorang demonstran sambil mengangkat bendera RMS.

Tak hanya isu lingkungan, aksi di Hortus Botanicus juga menggaungkan isu politik. Terlihat bendera Bintang Kejora berkibar, memperlihatkan solidaritas antara rakyat Maluku dan Papua sebagai dua wilayah timur yang kerap jadi korban eksploitasi sumber daya.
Spanduk bertuliskan “Potong di kuku rasa di daging. Uli Siwa Uli Lima. Maluku Satu Bangsa” menjadi penegasan identitas kultural dan sejarah panjang perlawanan masyarakat Maluku.
Dari Belanda, Suara Pulang ke Indonesia
Demonstrasi di Amsterdam hanyalah satu episode dari rangkaian panjang perlawanan warga terhadap proyek nikel dan energi hijau palsu. Namun aksi ini menunjukkan bahwa diaspora tidak lupa pada akar. Bahwa ketika pertemuan-pertemuan elite berlangsung di ruang tertutup, suara masyarakat adat dan korban pencemaran lingkungan bisa menerobos dindingnya.
Kini, para demonstran di Belanda menyerukan agar pemerintah Indonesia dan lembaga internasional meninjau kembali kerja sama dengan Harita Group. Mereka mendesak agar investasi dalam transisi energi tidak mengorbankan lingkungan hidup dan martabat manusia.
“Dari Amsterdam kami bersuara. Jangan tutup mata pada apa yang terjadi di Pulau Obi. Jangan diam melihat negeri kami dijual untuk baterai dan keuntungan segelintir orang,” kata Alfi seorang perempuan berketurunan Maluku.
Hingga berita ini diturunkan, PT Harita Group belum memberikan tanggapan atas aksi di Amsterdam dan temuan-temuan yang disampaikan dalam laporan JATAM.