titastory, Seram Bagian Barat – Indonesia telah merdeka selama delapan dekade. Tapi bagi sebagian warga, terutama mereka yang tinggal jauh dari pusat kuasa, kemerdekaan tak lebih dari gema kosong yang tak pernah sampai ke telinga penguasa.
Di Kecamatan Inamosol, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Maluku, “merdeka” adalah kata yang sulit dicerna. Setiap musim hujan datang, jalan-jalan berubah menjadi sungai berlumpur. Tak ada drainase. Tak ada perbaikan. Tak ada pemerintah.
“Seng (tidak) ada yang datang lihat katong pu derita,” ujar seorang perempuan dalam sebuah video viral yang diunggah oleh akun Facebook @Latuny Nova, Sabtu (2/8/2025). Perempuan itu diketahui seorang pendeta yang tengah mengenakan jas hujan plastik hijau dan berdiri di tengah banjir setinggi pinggang. Di belakangnya, jalan raya kilo 8 hingga kilo 11, satu-satunya akses utama ke Inamosol, tergenang air berwarna coklat pekat.

“Katong ini juga bagian dari NKRI. Katong bagian dari Maluku. Tapi lihat, setiap hujan katong harus baranang-baranang (berenang),” ujarnya dengan nada kecewa.
Dari Zaman Belanda, Jalan Tak Pernah Diperbaiki
Menurut Moses Serihollo, pemuda setempat yang dihubungi titastory, jalan tersebut bukan baru rusak tahun ini. Bahkan sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Namun hingga Indonesia genap berusia 80 tahun, jalan itu hanya jadi saksi bisu penderitaan yang terus diwariskan antargenerasi.
“Katong pung (kami punya) orang tua jua su seng (juga sudah tidak) berharap. Sudah dari zaman Belanda itu jalan. Setiap ganti gubernur, ganti bupati, ganti dewan – cuma janji, janji, janji,” katanya.
Menurut Moses, pemuda dan warga Inamosol sempat bertemu langsung dengan Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, dan menyampaikan keluhan soal infrastruktur. Kala itu, gubernur berjanji akan segera memperbaiki jalan. Tapi hingga kini, kata Moses, janji tinggal janji.
“Katong kenyang sudah dengan janji manis,” ujarnya lirih.
Facebook Jadi Panggung Jeritan Orang Kecil
Di tengah ketidakpedulian pemerintah, media sosial menjadi satu-satunya tempat “berteriak”. Unggahan video banjir dari akun Latuny Nova langsung mendapat simpati publik. Warganet menyerukan agar pemerintah daerah dan pusat membuka mata.
“Ini jalan utama kilo 8 sampai kilo 11 Inamosol, bukan jalan tikus. Tiap hujan banjir, mau lewat di mana?” tulis seorang pengguna.
Beberapa lainnya menandai akun pejabat pemerintah di kolom komentar, berharap suara rakyat kecil bisa terdengar lewat dunia digital. Sayangnya, hingga berita ini diterbitkan, belum ada respons resmi dari Pemkab SBB maupun Pemerintah Provinsi Maluku.
Ketika “Merdeka” Tidak Masuk Kamus Orang Kecil
Ironis. Di saat para elite bersiap menyambut 80 Tahun Indonesia Merdeka dengan upacara dan dekorasi, sebagian rakyat justru masih terjebak dalam lumpur.
Di Seram Barat, kata “merdeka” tampaknya belum berhasil menembus batas geografis dan mental birokrasi. Ia berhenti di ruang-ruang rapat yang penuh protokoler, tanpa pernah benar-benar menjejak tanah.
“Katong cuma minta jalan, bukan minta istana. Tapi itu saja tara bisa,” kata Moses.
Mungkin sudah waktunya pemerintah berhenti merayakan kemerdekaan dengan seremoni kosong, dan mulai bekerja nyata untuk mereka yang selama ini hanya mendapat “kemerdekaan” dalam bentuk lagu dan bendera plastik.
“Karena suara yang sedikit dari masyarakat Inamosol membawa Anda-Anda mendapat jabatan.”
Penulis: Christin Pesiwarissa
