titastory, Seram Timur – Aroma kepentingan politik dan bisnis menyeruak dari kebijakan revitalisasi sekolah di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT). Program senilai lebih dari Rp40 miliar yang semula dirancang dengan pola swakelola—yakni dikelola langsung oleh kepala sekolah—mendadak diubah menjadi tender pihak ketiga.
Pergantian sejumlah kepala sekolah yang dinilai janggal memicu kegaduhan. Tak hanya itu, perubahan kebijakan ini juga berujung pada pengrusakan fasilitas sekolah dan penyegelan dengan sasi adat di beberapa wilayah, seperti SMP Negeri 49 Siwalalat dan SMP Negeri 18 Tamher Warat.
“Awalnya swakelola untuk menjamin transparansi dan kebutuhan sekolah, tiba-tiba diarahkan ke tender. Itu bukan semata soal teknis, ada kepentingan lain yang bermain,” ujar seorang tokoh masyarakat di Bula, yang meminta namanya tidak ditulis.

Jejak SK Siluman
Sumber di lingkaran pendidikan SBT menyebut pergantian kepala sekolah tidak selalu didasari Surat Keputusan (SK) Bupati, melainkan cukup dengan SK Kepala Dinas Pendidikan. Praktik ini menimbulkan kecurigaan adanya upaya sistematis mengatur aliran dana revitalisasi sekolah.
“Kalau kepala sekolah bisa diganti hanya dengan SK dinas, artinya ada ruang besar untuk intervensi. Itulah pintu masuk permainan anggaran,” kata sumber tersebut.
Kepala Dinas “Membisu”
ttastory berupaya meminta klarifikasi kepada Kepala Dinas Pendidikan SBT, Affiudin Rumakway. Namun, upaya konfirmasi itu berulang kali mentok.
Melalui pesan singkat WhatsApp, Affiudin sempat beralasan tengah mengikuti rapat bersama Dinas Pendidikan Provinsi. “Nanti rapat dengan LPMP usai baru telpon ya ade,” tulisnya.
Namun, usai rapat selesai, Affiudin kembali berkelit. “Nanti dolo, masih sibuk ade sayang,” ujarnya singkat.
Sikap menghindar ini kian menguatkan dugaan publik bahwa ada sesuatu yang tengah ditutup-tutupi. Padahal, masyarakat Seram Timur menanti penjelasan resmi soal kericuhan pergantian kepala sekolah hingga pengrusakan fasilitas pendidikan.
Dampak ke Ruang Belajar
Kekacauan birokrasi ini tak berhenti di ranah administratif. Beberapa sekolah justru disegel dengan sasi adat akibat konflik pengelolaan, membuat proses belajar mengajar lumpuh.
“Anak-anak jadi korban. Mereka harusnya dapat pendidikan layak, malah diliburkan karena sekolah disegel,” kata seorang guru di Siwalalat.
Dugaan Mainan “Jatah Kue”
Sejumlah aktivis pendidikan di Maluku menduga ada permainan politik dan kepentingan tim sukses dalam perubahan skema anggaran. Dengan pola tender, aliran dana lebih mudah diatur dan dibagi.
“Kalau swakelola, uang langsung ke sekolah. Kalau tender, ada ruang bagi-bagi jatah. Di situlah dugaan permainan ini menguat,” kata seorang pemerhati pendidikan di Ambon.
Publik Seram Timur kini mendesak aparat penegak hukum turun tangan. Rp40 miliar bukan angka kecil, melainkan dana yang semestinya menjamin mutu pendidikan generasi muda di Seram Timur.
“Kalau aparat diam, ini bisa jadi preseden buruk. Pendidikan bukan lahan bancakan,” ujar tokoh masyarakat tersebut.
Untuk sementara, kebijakan kontroversial ini masih menyisakan tanda tanya besar. Benarkah ada intervensi untuk kepentingan pribadi dan kelompok? Atau semua ini sekadar miskomunikasi birokrasi?
Yang pasti, di ruang-ruang kelas yang kosong karena disegel adat, anak-anak Seram Timur sedang menanti jawaban.