Kadang merasa lucu (dan getir) ketika orang bilang: desa lingkar tambang itu akan sejahtera. Nahasnya, yang ada ialah tambang lingkar desa, dengan masa depan yang tidak pasti.
RANGKAIAN acara peringatan ulang tahun Kabupaten Halmahera Tengah dibuat semarak. Ragam kegiatan dilaksanakan, dari jalan sehat, karaoke, pameran “pembangunan”, hingga bagi-bagi doorprize untuk merayakan usia yang ke 32 ini. Tak tanggung-tanggung, penyanyi ibukota didatangkan untuk menghibur masyarakat.
Gegap gempita lebih terasa saat mengunjungi area pendopo Kota Weda di malam hari. Panitia berulangkali mengumumkan undian, membuat penasaran warga, yang berharap membawa pulang kulkas atau mesin cuci. “Pelangi Bumi Fagogoru” slogan yang terpampang di atas panggung, bersanding dengan foto para pejabat menebar senyum.
Sebagai warga yang lahir dan tumbuh di tanah ini, tentunya kami mendoakan yang terbaik untuk kabupaten ini. Namun rasanya, tidak bisa menaruh harapan lebih, jika melihat realita yang ada.
Tiga puluh kilometer ke utara, ratusan eskavator menggusur hutan, mengeruk tanah, membawa ke tungku pembangkaran. Mereka juga menimbun pantai, menggeser sungai, mendirikan pabrik dengan cerobong yang tinggi. Teranyar, korporasi ini mendapat persetujuan dari pemerintah pusat untuk mengubah kawasan hutan seluas 1.312 Ha untuk kawasan industrinya.
Halmahera Tengah memiliki luas daratan 227.686 Ha, 35 persen wilayah telah dikuasai oleh 14 izin usaha pertambangan, yang luasnya bahkan melebihi luas negara Singapura. Itu belum termasuk kawasan penunjang industri dan sejumlah izin penguasaan hutan untuk perkebunan dan penebangan kayu. Dan jika dicermati, di antara proses perizinan itu, sebenarnya terdapat jejak pelanggaran hak asasi manusia.
Jadi, apa patut dirayakan dari kabupaten, yang sesungguhnya, tidak lagi memiliki daulat atas wilayahnya ini?
Semua tau sifat dasar dari industri ekstraktif, yang secara brutal mengeksploitasi alam dan akan meninggalkan kerusakan yang parah. Tidak perlu jauh mencontoh, Pulau Gebe mungkin bisa jadi cerminan. Jangankan nanti, saat ini, ketika melewati wilayah Lelilef ke Gemaf, lihat dan rasakan apa yang terjadi. Kalau mau, coba jangan pakai masker dan nikmati udara di sana. Hmm, terlalu banyak jika dirunut dampak dari industri tersebut.
Mungkin sebagian orang akan berargumen “kan ada dampak ekonomi untuk kesejahteraan”. Sejahtera seperti apa? Kaya raya? Selama penguasaan sumber daya alam dikuasai oleh segelintir orang, jangan harap ada “kesejahteraan” yang merata dan adil. Toh, jika kita sejahtera dan kaya raya, apakah masih bisa dikatakan hidup layak ketika air dan udara telah tercemar.
Ada perasaan was-was yang luar biasa bagi kami yang tinggal di pesisir Teluk Weda. Sagea, kampung kami, tengah menghadapi ancaman serius dari industri tambang. Ada 5 korporasi tambang di sekitar kami. Makanya saya kadang merasa lucu (dan getir) ketika ada yang bilang desa lingkar tambang itu akan sejahtera. Nahasnya, yang ada ialah tambang lingkar desa, dengan masa depan yang tidak pasti.
Dan sekali lagi, apa yang perlu dirayakan dari kabupaten yang pejabatnya kurang berfikir terkait jaminan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup.
Adapun mereka akan bilang bahwa itu semua adalah kewenangan pusat dan warisan rezim lalu. Ah klise, semua orang tau kebiasaan pejabat dan politisi lokal yang suka “mencuci tangan” dan membebek pada kebijakan pusat yang syarat kepentingan korporasi.
Padahal jika mereka punya keinginan untuk mencegah dan melindungi lingkungan hidup, ada banyak cara yang bisa ditempuh. Melalui rencana tata ruang wilayah, misalnya. Sayangnya tidak ada kemauan untuk itu, bahkan revisi RTRW baru-baru ini kurang partisipatif dan tidak transaparan kepada warga terdampak, justru lebih mengakomodasi kepentingan korporasi tertentu.
Olehnya itu, sekali lagi, apa yang patut dibanggakan dari acara yang anggarannya bersumber dari “sumbangan” korporasi perusak lingkungan itu. Eh, maaf kecoplosan.
Tapi tak apa, toh semua berhak merayakan dan menghibur diri, meski yang dirayakan adalah bom waktu kehancuran untuk masa depan.
Naudzubillah min dzalik….
Adlun Fikri adalah seorang Penulis, Pegiat Fotografi, dan Aktivis Lingkungan
Discussion about this post