SEJAK reformasi bergulir tahun 1998 sudah banyak peraturan perundangan-undangan yang lahir untuk mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah, sumber daya alam dan hak-hak dasarnya. Berbagai produk legislasi telah menyentuh semua level mulai dari konstitusi sampai peratursan desa.
Pada level konstitusi misalnya dipertegas dengan keberadaan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Kemudian sejumlah Undang-undang khususnya yang terkait dengan sumber daya alam berisi pengakuan atas kberadaan hak-hak masyarakat.
Undang-undang Dasar 1945 telah menegaskan keberadaan masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 sebagai hasil amandemen kedua menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Ketentuan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 diperkuat dengan ketentuan pasal 281 ayat (3) UUD 1945 bahwa identitas budaya dan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Selain UUD 1945, beberapa Undang-undang sektoral juga memberikan jaminan hak-hak masyarakat hukum adat.
Namun dengan berbagai peraturan perundang-undagan, Negara mengembangkan berbagai kebijakan, yang intinya mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak-hak tradisional serta hak sejarah masyarakat hukum adat tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Sudah barang tentu, masyarakat hukum adat tidak berdiam diri terhadap pengurangan, pengambilalihan, atau pencabutan hak-hak tradisionalnya itu. di seluruh Daerah di Indonesia telah terjadi kritik protes, bahkan perlawanan secara terbuka, dari warga masyarakat hukum adat, yang pada umumnya gagal dalam mempertahankan eksistensi dan hak-hak tradisionalnya.
Keadaan yang secara sistematis meminggirkan eksistensi masyarakat hukum adat serta menegakan hak-haknya seperti itu secara umum berlangsung terus sejak reformasi tahun 1998. Sewaktu bertahap dalam era Reformasi telah diletakan landasan hukum untuk pengakuan formal terhadap eksistensi dan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat ini.
Kondisi ini belum lagi diperparah dengan Undang-undang Cipta Kerja dianggap menyakiti masyarakat adat di Indonesia. UUCK ini dianggap melucuti perlindungan lingkungan termasuk dengan mengancam akses masyarakat adat atas tanah dan hutan tropis yang terus berkurang. Undang-undang ini juga bertetantangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012 yang menyatakan masyarakat adat seharusnya menguasai hutan adat dan bahwa pemerintah seogyanya membatasi dan mengecualikan hutan adat dari kendali pemerintah.
Kondisi ini mengakibatkan ruang hidup masyarakat begitu sempit, apalagi dengan UUCK yang telah disahkan sehingga masyarakat adat semakin terintimidasi di atas tanahnya sendiri. Kasus contoh adalah masyarakat adat di Timur Indonesia harus berjuang mempertahankan tanah ulayatnya dari sejumlah koorporasi dan juga Pemerintah.
Di Sabuai Pulau Seram Maluku, memperlihatkan bagaimana memperperlihatkan masyarakat adat yang berjuang untuk melindungi hutan dan tanah adatnya harus digugat oleh investor yang diduga melakukan illegal logging. Begitu juga di Minamin, Halmahera Timur, Maluku Utara, Ketika masyarakat adat berjuang untuk mempertahankan tanah dan hutan adat untuk melindungi masyarakat asli (nomaden) yang masiuh berada di hutan tersebut, terpaksa harus berhadapan dengan alat negara.
Dua contoh kasus ini menunjukan bahwa eksistensi masyarakat hukum adat semakin terancam di Indonesia pasca Reformasi.
Masyarakat adat Tobelo Boeng Heleworuru Togutil/O Hongana Manyawa, mengalami nasib dalam melindungi lingkungan hidup di wilayah mereka.
Novenia Ambeua, perempuan adat dari suku Tobelo Boeng Heleworuru (Togutil/O Hongana Manyawa) ditanya keberadaan eksistensi mereka pasca 25 tahun reformasi di Indonesia menjelaskan reformasi tidak membawa dampak positif bagi masyarakat adat di Halmahera, khususnya mereka keturunan Tobelo Boeng Helelworuru. Padahal kata Nove, reformasi lahir dilatarbelakangi salah satunya adalah hilangnya kepercayaan terhadap pemerintahan orde baru, Soeharto dan kroni-kroninya dan kini sudah berlangsung 25 tahun.
Kaitannya dengan lingkungan hidup di wilayah mereka, pengurus Dewan AMAN Maluku Utara ini bilang, sebelum massa reformasi perijinan-perijinan yang berhubungan dengan lingkungan hidup di daerahnya itu sudah bercokol lama, diantaranya izin-izin HPH (perusahaan-perusahaan kayu) yang kepemilikannya tentu saja erat kaitannya dengan orang-orang yang berkuasa pada zaman itu. Bahkan, kata Nove, ada diantaranya yang masih tetap eksis hingga massa reformasi sampai saat ini.
Ketika memasuki massa orde baru, perempuan yang merupakan ASN di Kabupaten Halmahera Timur ini bilang, tidak ada perubahan signifikan yang mereka rasakan. Selaku salah satu komunitas masyarakat adat yang ada di Maluku Utara.
Sampai saat ini, menurut Nove, masih terus terjadi perampasan ruang hidup yang dilakukan oleh sejumlah koorporasi tambang nikel, yang juga merupakan produk izin dari massa orde baru.
“Sebut saja PT. WBN izin kontrak karyanya terbit di massa pemerintahan orde baru dan semakin massif beroperasi menghancurkan lingkungan kami di massa reformasi, kami berpikir dan berharap Ketika memasuki massa reformasi perlindungandan pengakuan terhadap masyarakat adat salah satunya komonitas kami dapat diwujudkan oleh pemerintah masa reformasi tapi kenyataanya masih jauh dari harapan kami,” kata Perempuan adat keturunan Tobelo ini.
Justru sampai saat ini, kata Novenia, RUU Masyarakat Adat saja sudah sekitar 10 tahun tidak disahkan sehingga sangat berdampak buruk bagi masyarakat adat yang mendiami wilayah-wilayah konsesi pertambangan nikel. Bahkan ketika mereka berjuang mempertahankan wilayah adatnya, akan diperhadapkan dengan regulasi yang dibuat pemerintah era reformasi yang justru melindungi para investor, yakni Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) sehingga hal ini dipandang sebagai ketidakadilan terhadap masyarakat adat.
Belum lagi, menurutnya, setiap izin yang dikeluarkan pemerintah tidak memperhitungkan keberadaan mereka, sehingga dapat mengakibatkan penghilangan etnis (etnosida) suku yang bermukim di pedalaman hutan Halmahera Tobelo Dalam (O Hongana Manyawa).
“Kami, masyarakat adat Tobelo Boeng Heleworuru sudah hidup sejak ribuan tahun lalu di wilayah kami dan mengelolah alam kami dengan kearifan local yang diturunkan oleh leluhur kami turun temurun tanpa merusak lingkungan alam apalagi merubah bentangan alam yang diciptakan Tuhan sang pencipta alam semesta, namun kehadiran koorporasi ekstraktif justru menghancurkan apa yang kami jaga dan lindungi,” tuturnya.
Semua ini, menurutnya, diketahui dan didukung oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengabaikan hak-hak yang melekat pada mereka dan tidak melibatkan masyarakat adat dalam setiap proses yang seharusnya mereka ada disana.
“Hak keadilan atas tanah, hak keterbukaan informasi public/FPIC, keadilan lingkungan hidup/hak terlibat dalam proses AMDAL,” tukasnya.
Bahkan tak hanya itu kata Novenia, masyarakat adat setempat tidak mendapatkan kopensasi seimbang ketika lahan-lahan kebun maupun hutan diambil alih akibat penguasaan lahan oleh koorporasi.
Selain itu juga, menurutnya, penentuan-penentuan batas administrasi wilayah desa oleh pemerintah daerah tidak melibatkan masyarakat adat dan tidak sesuai dengan historis sejarah masyarakat adat sesuai regulasi yang mengatur, sehingga produk peta tapal batas antar desa di wilayah adat mereka justru menjadi pemicu konflik antar desa yang bersinggungan.
Kehadiran Izin Usaha Pertambangan (IUP) Dia menduga kuat membuka peluang kesempatan bagi oknum aparat keamanan TNI/POLRI Bersama kelompok masyarakat lokal yang bukan pemilik hak ulayat dengan mengkapling wilayah-wilayah adat bahkan menjual/membebaskannya kepada korporasi yang memiliki ijin di wilayah tersebut.
“Ketidak adilan ini dirasakan oleh masyarakat adat Tobelo Boeng Heleworuru Halmahera timur Maluku utara mulai dari tingkat Kampung, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi sampai Negara lantas apa yang diharapkan dari sebuah gerakan reformasi yang digadang-gadang membawa perubahan tapi justru tidak ada perubahan yang dirasakan oleh masyarakat adat seperti kami?
Tak hanya, dialami masyarakat di Halmahera, Maluku Utara, di Sabuai Pulau Seram Maluku, memperlihatkan bagaimana memperperlihatkan masyarakat adat yang berjuang untuk melindungi hutan dan tanah adatnya harus digugat oleh investor yang diduga melakukan illegal logging.
Dalih investasi mendorong pertumbuhan ekonomi, Logika pembangunan yang cenderung eksploitatif menuntut bukaan lahan hutan seluas-luasnya untuk kepentingan pemodal, membuat kami masyarakat Sabuai juga harus berkonflik dengan CV.Sumber Berkat Makmur di Kabupaten Seram Bagian Timur, Negeri Sabuai, kecamatan Siwalalat.
Peristiwa berawal dari tindakan pembalakan liar yang dilakukan oleh pihak perusahan CV.SBM di hutan Ahwale milik kami masyarakat adat sabuai yang bukan bagian dari area penggunaan lain (APL) yang diizinkan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Maluku. Perusahan CV.SBM dalam surat keputusan 52.11/SK/DISHUT-MAL/459 yang terbitkan oleh dinas kehutanan Provinsi Maluku tentang persetujuan izin pemanfaatan kayu (IPK) tahap 1 untuk area seluas 371 hektar, hanya di izinkan untuk memanfaatkan kayu pada 3 lokasi hutan diwilayah tersebut yakni hutan Wasaba, hutan Mayaram, dan hutan Ihatollus.
Kaleb Yamarua, pemuda adat asal Negeri Sabuai yang pernah menjadi tersangka karena berusaha melindungi hutan adat mereka dari pembalakan liar. Dia bersama 26 warga masyarakat adat Sabuai diamankan ke Polsek Werinama, Polres Seram bagian Timur karena menghentikan aktivitas pembalakan kayu yang di hutan adat milik mereka.
Menurut mahasiswa hukum semester 8 Universitas Pattimura ini, tindakan pembalakan liar yang dilakukan oleh perusahan CV. SBM tersebut bukanlah tindakan kali pertama, melainkan tindakan ini sudah sering dilakukan yang kemudian di tentang oleh kami masyarakat adat Sabuai.
Sebelumnya, Kaleb menceritakan, untuk menghentikan pembalakan liar yang sering dilakukan oleh perusahan CV.SBM , Dia bersama masyarakat Sabuai telah mencoba untuk melakukan pendekatan persuasive, akan tetapi maksud baik itu tidaklah digubris, sehingga membuat mereka melakukan upaya lain yang dimulai dengan pemalangan jalan, “Sasi adat” sebagai bentuk larangan adat, sampai pada pelaporan yang tidak di proses oleh Dirkrimsus Polda Maluku pada Tahun 2019.
“Laporan aduan secara tertulis telah kami layangkan tertanggal 6 agustus 2019 namun proses hanya sampai pada pemanggilan saksi pelapor, warga kami atas nama Bapak Pieter patotnem, bapak Dani Yamarua dan Bapak Frans Yamarua dipanggil ke Dirkrimsus Polda Maluku untuk dimintai keterangan terkait laporan yang kami buat, dengan seluruh keterbatasan yang kami miliki kami berusaha menghadiri pemanggilan dari penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku, masing-masing saksi diperiksa sekitar 6 jam lebih dan dicecar dengan tujuh puluh sampai delapan puluh pertanyaan seputar kasus, namun mirisnya tidak ada perkembangan yang jelas terkait laporan kami,” tutur Kaleb mengingat proses perjuangan mereka saat itu.
Bahkan, kata Kaleb, sampai pada surat permohonan mempertanyakan perkembangan perkara yang mereka layangkan pada bulan November 2019 tak kunjung direspon secara kelembegaan oleh pihak Ditreskrimsus.
“Proses hukum yang tak pasti membuat kami berkesimpulan bahwa pebisnis kayu dalam hal ini saudara Direktur CV.SBM tidak bisa disentuh oleh penegak hukum, beliau kami sebut sebagai pebisnis dan penjahat paling special dimata penegak hukum,” kata Kaleb.
Menunggu proses hukum terhadap laporan aduan dugaan ilegal loging oleh CV.SBM yang tak pasti, kata pemuda 24 tahun ini, membuat warga emosi. Warga pun kehilangan kesabaran.
“Tepat pada tanggal 17 Februari 2020, sekitar pukul 08.00 WIT, dimana warga masyarakat adat Sabuai melakukan perjalanan meninjau lokasi hutan Ahwale, yang pada pukul 10.00 WIT, saat mereka tiba di gunung “Siwe” yang masih merupakan area hutan Ahwale, kami berpaspasan dengan 5 (lima) orang operator perusahan CV.SBM yang sedang menurunkan kayu dengan menggunakan mobil loging, protes kami berhujung pada pengrusakan kaca alat berat tersebut,” kata Kaleb mengisahkan peristiwa saat itu.
Tindakan yang mereka lakukan kata Kaleb bukan tanpa sebab. Perbuatan pengrusakan kaca dan penyitaan kunci mobil alat berat milik perusahan CV.SBM yang dilakukan oleh masyarakat adat Sabuai merupakan akumulasi dari kekecewaan, lantaran perbuatan pembalakan liar yang masih terus dilakukan oleh perusahan CV.SBM.
“Tindakan protes dan penghadangan berujung pelemparan kaca alat berat yang dilakukan oleh kami masyarakat adat Sabuai, kemudian membuat Direktur perusahan CV. SBM melaporkan 26 warga masyarakat adat sabuai ke Polsek Werinama,” tuturnya.
Selanjutnya, Dia dan 26 warga ditahan selama 5 (lima) hari, sebelum dipulangkan dan Polisi menetapkan 2 (dua) orang warga masyarakat adat Sabuai atas nama Stefanus Ahwalan dan Khaleb Yamarua, dirinya sebagai tersangka atas sangkaan melakukan kasus pengrusakan barang dan kekerasan bersama terhadap barang.
“Kami dianggap melanggar Pasal 406 ayat (1) KUHP Jo Pasal 170 KUHP, kami sempat memperakaran tindakan polisi terhadap kami, kami melayangkan permohonan pra peradilan perihal menguji sah tidaknya penangkapan, penahan, dan penetapan tersangka namun permohonan kami ditolak oleh hakim tunggal Darmawan Ahmad sebagai hakim pemeriksa perkara kami,” mahasiswa fakultas hukum unpatti ini.
Kaleb mengatakan, berbagai gerakan advokasi mereka upayakan, dengan dukungan berbagai elemen masyarakat seperti aktivis pemerhati lingkungan, pemerhati masyarakat adat, peran besar media, semakin mempertebal semangat perlawanan masyarakat adat Sabuai pada tahun November 2021 lalu.
Kasus ini kata Kaleb, kemudian dibawa ke persidangan. JPU, kata pemuda Seram Timur ini, dengan gagahnya berdiri memperjuangkan kepentingan hukum dari saksi korban pemilik alat berat yang sudah merusak hutan dan menggarap pundi-pundi rupiah dari hutan ulayat masyarakat adat Sabuai.
Menariknya, kata Kaleb, dalam kasus direktur CV. SBM ini telah terbukti dan dijatuhi hukuman melakukan ilegal loging di hutan mereka, namun jaksa penuntut umum enggan menyerah dan tetap ingin menuntut mereka.
“JPU mengangap bahwa tindakan yang kami lakukan adalah delik murni yang harus pandang terpisah dari upaya memperjuangkan hutan ulayat kami, pada kesempatan berbeda kami melalui kuasa hukum kami dalam eksepsi, pledoi dan duplik selalu menegaskan tindakan masyarakat Sabuai merupakan cara masyarakat mempertahakan hutan ulayatnya,” jelasnya.
Lanjut Kaleb, tindakan pelaporan yang dilakukan oleh perusahan CV.SBM dapat diartikan sebagai bentuk dari upaya SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participastion) atau usaha perlawanan balik yang dilakukan oleh pihak tertentu yang mendapatkan keuntungan dari kebijakan pemerintah untuk menghambat akses partisipasi masyarakat dalam memenuhi haknya atas lingkungan yang baik dan sehat.
Padahal, menurut mahasiswa Hukum Unpatti ini, ada beberapa ketentuan yang mengatur tentang Anti-SLAPP salah satunya seperti Pasal 66 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
“Kami pun melewati proses sidang yang begitu panjang dan kami dijatuhi vonis pidana bersyarat, pidana pokok 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 Tahun,” terangnya.
Berangkat dari berbagai kasus yang terurai diatas kata Kaleb, tergambar jelas bahwa pokok-pokok pikiran reformasi dalam rangka menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara ideal malah berbuntut pada sebuah realitas yang timpang, padahal rakyat Indonesia menaruh harapan besar terhadap reformasi.
Pemuda asal Desa Sabuai ini mengatakan masyarakat adat harus berjuang mempertahankan hak-haknya, reformasi tidak lagi menjadi term yang merepresentasi era kekinian, dimana oligarki di aras pusat maupun daerah semakin menguat, pembangunan cenderung eksploitatif, tabiat pejabat yang korup, hak – hak rakyat dihisap oleh kebijakan-kebijakan yang menindas.
Menurutnya, buah reformasi mulai perlahan dinikmati, terdapat empat kali amandemen UUD NRI 1945 jelas memberikan nuansa berbeda dalam praktek ketatanegaraan Indonesia, khususnya berkaitan dengan eksistensi masyarakat adat. Pasca amandemen UUD NRI 1945 masyarakat adat memperoleh pengakuan secara konstitusional terdapat dalam pasal 18 b ayat 2 , pasal ini mempertegas legal standing masyarakat hukum adat. Namun legal posisi masyarakat hukum adat sebagaimana disebutkan diatas tidak menjamin masyarakat hukum adat terhindar dari berbagai problem atau konflik yang bermunculan, masyarakat hukum adat terjebak dan kian terdegradasi.
Sederet cita – cita ideal reformasi, kata Kaleb, menjadi pemicu protes nasional hingga berhasil menumbangkan rezim orde baru, hanya sebatas isapan jempol belaka. Terbukti Masyarakat adat di seantero nusantara diperhadapkan dengan sekelumit fakta yang mempersulit masyarakat adat untuk hidup aman, nyaman di NKRI ini, masyarakat hukum adat dibuat menderita oleh kasus perampasan lahan , pembalakan hutan, represifitas hingga kriminaliasi pejuang masyarakat adat.
Situasi ini bila dibaca dalam konteks Maluku, banyak sekali kasus yang menguras konsentrasi melawan dari masyarakat adat di Maluku, sebut saja konflik yang melibatkan Masyarakat adat Marafenfen dengan TNI Angkatan Laut, Masyarakat Adat Marafenfen menuntut hak atas wilayah adat mereka yang diduga telah diserobot secara sepihak oleh TNI Angkatan Laut (AL). Rencananya, bandara udara (bandara) dan berbagai fasilitas lainnya akan dibangun di atas tanah seluas 689 hektar hektar tanah yang berada di Desa Marafenfen, Kecamatan Aru Selatan, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku.
Di Tahun 2022 terdapat pula upaya mempertahankan tanah Masyarakat adat Bati dengan menutut agar operasi PT Balam Energy Limited dan PT Bureau Geophysical Prospecting, PT Balam dan PT Bureau yang adalah dua perusahaan minyak dan gas untuk tidak melakukan eksploirasi di tanah adat masyarakat Bati di Kecamatan Kian Darat, Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku.
Kemudian terdapat juga gerakan perlawanan masyarakat adat di Kecamatan Taniwel tergabung dalam ANTARA (Aliansi Taniwel Raya) menggelar aksi mendesak PT. Gunung Makmur Indah, sebuah perusahan tambang marmer untuk tidak mengeksplorasi area tambang Kecamatan Taniwel, Kabupaten Seram Bagian Barat.
Terdapat pula gerakan perlawanan masyarakat adat seram barat yang dipelopori oleh Himpunan Mahasiswa adat Sakamese Nusa pada Tahun 2018 lalu menolak beroperasinya CV. Titian Hijrah dan PT. Tanjung Wana Sejahtera (TWS) yang ingin beroperasi di hutan adat Seram Bagian Barat (SBB).
Sumber:
- Kaleb Yamarua Perwakilan Masyarakat Adat Sabuai, Pulau Seram, Maluku
- Novenia Ambeua Perwakilan Masyarakat Adat Tobelo Boeng Heleworuru Togutil (O Hongana Manyawa)
Discussion about this post